home masjid

Sejarah Islam Nusantara: Geger Gedangan, Pagi Berdarah di Hari Maulid

Rabu, 03 Desember 2025 - 04:15 WIB
Di Gedangan, Sidoarjo, 1904, darah tumpah di tanah tebu. Pemerintah kolonial menyebutnya pemberontakan fanatik. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Jumat, 27 Mei 1904. Hari kelahiran Nabi. Sekelompok lelaki Jawa berpakaian putih berarak menuju jembatan dekat pabrik gula Sroeni, Sidoarjo. Di tangan mereka, beliung, golok, dan lembing. Mereka berteriak, “Jihad, wahai Muslimin! Ini revolusi Jawi!” (al-Liwa’, Agustus 1904).

Tak lama kemudian, letusan senapan membelah udara. Serdadu Belanda menembak. Barisan terdepan rebah bersimbah darah. Para pemimpin mereka ditangkap; seorang kiai, Hasan Mu’min, terbunuh. “Bukan kejutan penuh,” catat Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara(Mizan, 2015). “Belanda telah mencurigai surat-surat yang konon dikirim oleh Imam Sultan Mahdi, yang menyeru pembunuhan orang Eropa dan penegakan hukum Islam.”

Nama Hasan Mu’min (1854–1904) kemudian menjadi sentral. Ia bukan ulama besar atau mursyid tarekat formal, melainkan pedagang alas tenun yang dikenal mengobati orang kampung.

Menurut laporan G.A.J. Hazeu—wakil Snouck Hurgronje—Hasan Mu’min “bukan guru tarekat, melainkan dukun desa yang bisa mengumpulkan lingkaran orang-orang terampil dalam kondisi luar biasa.”

Hasan pernah berguru ke Kiai Krapyak, lalu berpindah dari Semarang ke Pekalongan, hingga menetap di Sidoarjo. Ia menikahi sepupu dari penghulu setempat dan mulai dikenal karena azimat-azimatnya. “Ketenarannya menjadikannya titik tumpu bagi orang-orang yang punya keluhan,” tulis Laffan.

Pada 1903, Hasan disebut mendapat “wahyu” bahwa ia akan berperan dalam berdirinya negara Mahdi. Tahun berikutnya, keyakinan itu berubah menjadi amarah sosial.

Benih Pemberontakan di Lahan Tebu
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya