home masjid

Ketika Syariat Tak Butuh Penguasa: Negara Boleh Kuat, Umat Harus Sadar

Sabtu, 25 Oktober 2025 - 04:15 WIB
Hukum Allah tak cukup ditegakkan lewat kekuasaan. Tanpa kesadaran moral rakyat, syariat hanya tinggal slogan politik di panggung negara. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Di tengah perdebatan panjang tentang siapa yang paling bertanggung jawab menegakkan syariat—pemerintah atau rakyat—Syaikh Yusuf al-Qardhawi menawarkan pandangan yang menohok: syariat tidak menunggu kekuasaan; ia hidup dalam kesadaran umat.

Dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah, ulama besar asal Mesir itu menulis bahwa penerapan hukum Allah bukan monopoli penguasa. “Sesungguhnya penerapan syari’at bukanlah khusus diberlakukan atas para penguasa saja,” tulis Qardhawi. “Meskipun mereka adalah orang yang pertama kali dituntut karena memegang kekuasaan di tangannya.”

Pernyataan itu terasa kontras dengan kecenderungan sebagian kalangan Muslim modern yang menjadikan negara sebagai satu-satunya aktor dalam pelaksanaan syariat. Di ruang publik, tuntutan terhadap pemerintah agar menerapkan hukum Islam kerap lebih nyaring dibanding seruan untuk memperbaiki perilaku masyarakat. Padahal, kata Qardhawi, inti syariat bukan pada kekuasaan, melainkan kesadaran.

“Seandainya kita memiliki doa yang dikabulkan,” kutip Qardhawi dari perkataan ulama salaf, “maka kita akan berdoa untuk penguasa, karena sesungguhnya Allah memperbaiki makhluknya yang banyak dengan kebaikan penguasa itu.”

Namun ia menambahkan catatan penting: doa itu tak menghapus tanggung jawab rakyat. Setiap Muslim, katanya, wajib menegakkan nilai-nilai Islam dalam ruang yang bisa ia kendalikan—diri, keluarga, dan lingkungannya.

Dengan nada kritis, Qardhawi menyebut banyak hukum halal-haram dan norma sosial dalam Islam kini diabaikan umat sendiri. Ia menulis, “Bahkan mereka menentang perintah Allah dan melanggar ketentuan-Nya, padahal mereka tidak akan memperoleh kebaikan kecuali kalau mereka mau melaksanakan hukum Allah dengan kesadaran dari diri mereka sendiri.”

Dalam konteks Indonesia, pandangan ini relevan di tengah menguatnya politik identitas dan seruan formalisasi syariat oleh sebagian kelompok. Bagi Qardhawi, menuntut penerapan hukum Islam oleh negara tanpa menghidupkan moral Islam di masyarakat sama dengan membangun atap tanpa fondasi.
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya