home masjid

Pembangkangan Istakhr dan Khurasan di Era Khalifah Utsman bin Affan

Senin, 01 Desember 2025 - 05:45 WIB
Perang di Istakhr selesai. Tetapi babak pergolakan di tubuh kekhalifahan baru saja dimulai. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Di tengah tenangnya pusat pemerintahan di Madinah pada paruh kedua kekhalifahan Utsman bin Affan, api kecil di timur justru menjalar cepat. Di wilayah Persia—yang baru beberapa tahun sebelumnya tunduk di bawah panji Islam—gejolak Istakhr dan Khurasan muncul sebagai perlawanan tersisa dari lapisan bangsawan dan pasukan lokal yang belum sepenuhnya menerima konfigurasi baru kekuasaan.

Muhammad Husain Haekal dalam Utsman bin Affan: Antara Kekhalifahan dan Kerajaanmenggambarkan pembangkangan itu bukan sebagai sekadar pemberontakan daerah, tetapi sebagai pertarungan psikologis pasca-runtuhnya dinasti Sasan. Di mata sebagian orang Persia, kekalahan di Qadisiyah dan Nahawand belum berarti akhir dari segalanya. Banyak yang diam, mengukur peluang, dan menunggu momentum.

Peluang itu muncul ketika Abdullah bin Amir, gubernur muda Basrah yang ambisius, mulai berusaha merapikan administrasi dan menarik pajak-pajak tertunda. Dalam konteks itu, sejumlah kota di Persia selatan, terutama Istakhr—bekas pusat spiritual dan administratif Sasan—bergerak. Mereka melihat tekanan politik baru sebagai tanda melemahnya kontrol Arab.

Haekal mencatat bagaimana Ubaidillah bin Mu’ammar dikirim sebagai ekspedisi pertama. Namun pasukan lokal Persia, terorganisasi dan dipandu pengalaman perang panjang melawan Romawi maupun Arab, sudah siap. Pertempuran di gerbang Istakhr berakhir tragis: Ubaidillah gugur, pasukan Muslim terdesak, dan gema kemenangan kecil ini menyebar ke Khurasan.

Beberapa sumber sejarah seperti al-Baladzuri dan al-Tabari menambahkan bahwa kemenangan Persia di Istakhr menyulut euforia, membuat sejumlah pemimpin lokal memperkirakan bahwa momentum untuk mengembalikan otonomi mungkin saja terbuka. Sementara itu, utusan-utusan rahasia bergerak ke selatan dan timur, menghubungkan kembali jaringan aristokrasi Sasanid yang masih tersisa.

Namun dugaan itu keliru. Abdullah bin Amir bergerak cepat. Iatidak sekadar datang membawa pasukan, tetapi strategi kepungan yang menghimpit lambat dan pasti.

Di Istakhr ia menghadapi perlawanan sengit seperti yang dialami Ubaidillah. Tetapi berbeda dari pendahulunya, Abdullah memadukan serangan darat dengan tekanan manjaniq, memaksa pasukan Persia mundur ke benteng-benteng tua. Pengepungan berlangsung ketat, brutal, dan berakhir dengan pembantaian besar. Banyak bangsawan dan perwira veteran Persia yang gugur.
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya