home masjid

Kisah Yazdigird Berusaha Merebut Kembali Mahkotanya

Senin, 01 Desember 2025 - 17:00 WIB
Sejarah bergerak, dan Yazdigird tersingkir jauh dari pusatnya. Dari Istakhr hingga Fergana, ia bukan lagi maharaja, melainkan simbol runtuhnya satu dunia. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID- Langit Khurasan tahun 30 Hijriah dipenuhi kabar angin: Yazdigird, Maharaja terakhir Sassaniyah, bergerak. Dari lorong-lorong Istakhr yang porak-poranda hingga padang luas Merv, bayang kekaisaran tua Persia bergeser tanpa takhta, tanpa kota, hanya dengan secercah ilusi kejayaan lampau.

Di Basrah, Abdullah bin Amir baru saja menaklukkan kembali Istakhr—kota suci dan ibu kota Persia lama—dengan tangan besi. Dari kota itu ia mengirim para komandan menuju Khurasan yang kembali berkobar. Perlawanan serentak meletus dari Jurjan, Tabaristan, hingga lembah-lembah timur. Sa’id bin al-As menyambar dua wilayah pertama, menundukkannya dengan jizyah ganda. Pesan politiknya jelas: pembangkangan hanya berbuah kehinaan.

Namun percikan api itu rupanya bukan gerakan lokal semata. Ia menyambung pada seorang pelarian bangsawan yang tak rela mahkotanya runtuh: Yazdigird bin Syahriyar.

Sejak kekuasaan Sassaniyah tergerus oleh ekspansi Muslim di masa Umar bin Khattab, Yazdigird melarikan diri ke Samarkand, memohon perlindungan kepada Khaqan Turki. Kronik-kronik Arab seperti yang dicatat Muhammad Husain Haekal menggambarkan maharaja itu sebagai sosok yang terus mengembara, berpindah dari satu benteng perlindungan ke benteng lain. Sumber Persia pasca-Sassanid—seperti Tarikh-i Sistan—menyebut penyelamatan Yazdigird sebagai isu politik yang memicu kecurigaan, baik di pihak Turki maupun bangsanya sendiri.

Ketika Ahnaf bin Qais menembus Khurasan hingga perbatasan Turki, kecemasan Khaqan memuncak. Ia membayangkan skenario serupa Persia terulang: wilayahnya digulung badai militer Arab. Maka pada tahun itu, pasukan Turki dan warga Fergana dihimpun, berbaris bersama Yazdigird menuju Khurasan. Yang digelar bukan hanya perang, melainkan demonstrasi kekuatan lintas bangsa.

Umar bin Khattab, yang mendengar Ahnaf telah mencapai Balkh, mengingatkan agar tidak melampaui Khurasan. “Dia itulah Ahnaf, pemimpin masyarakat timur,” ujar Umar, seperti diriwayatkan dalam kronik al-Tabari. Garis politiknya tegas: jangan memicu perang baru di luar Persia.

Instruksi Umar itu menjadi kunci. Ketika pasukan Turki dan Yazdigird memasuki Khurasan, Ahnaf menarik pasukannya ke Merv Ruz dan meyakinkan pihak Turki bahwa ia tidak akan menyerang negeri mereka. Diplomasi itu berhasil. Merasa tidak terancam, Khaqan memutar balik ke Samarkand.
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya