LANGIT7.ID-, Jakarta- - Jepang tengah beradaptasi dengan meningkatnya jumlah wisatawan Muslim, terutama dari negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Turki. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pusat perbelanjaan besar dan department store di Jepang yang mulai menyediakan musala. Langkah ini dilakukan seiring dengan meningkatnya arus wisatawan dari negara-negara mayoritas Muslim, yang dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar yen. Bagi wisatawan Muslim, ketersediaan fasilitas ini memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah selama berada di Jepang.
Sebagai contoh, Matsuya Ginza, salah satu department store ternama di kawasan perbelanjaan elit Tokyo, telah menyediakan ruang khusus untuk shalat, lengkap dengan area wudu dan sajadah. Musala ini sering kali dipadati pengunjung, terutama saat waktu shalat tiba. Seorang turis wanita dari Malaysia mengaku merasa lega karena sudah menemukan informasi tentang musala ini sebelum perjalanannya ke Tokyo, dan merasa terbantu karena bisa menunaikan ibadah di tengah kesibukan kota besar.
Selain Matsuya Ginza, beberapa pusat perbelanjaan lain di Tokyo, seperti Shibuya Parco dan Aeon Mall Co, juga mulai menyediakan fasilitas serupa. Aeon Mall bahkan telah memasang musala di beberapa gerainya di Prefektur Chiba, Kanagawa, Aichi, Hiroshima, dan Okinawa, dengan rencana untuk memperluas layanan ini ke lebih banyak lokasi di masa depan. Industri ritel melihat keberadaan musala sebagai infrastruktur penting yang sebanding dengan fasilitas dasar lainnya seperti kamar mandi dan ruang menyusui.
Menurut Organisasi Pariwisata Nasional Jepang, jumlah wisatawan Muslim ke Jepang telah meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir, dengan angka pengunjung mencapai lebih dari 870.000 orang pada tahun 2023, yang menunjukkan kenaikan signifikan dibandingkan dengan satu dekade sebelumnya. Kondisi ini memotivasi lebih banyak pusat perbelanjaan untuk mempertimbangkan penyediaan fasilitas ibadah guna memenuhi kebutuhan spiritual para turis Muslim.
Namun, meskipun langkah ini mendapatkan apresiasi dari beberapa pihak, reaksi dari warganet tidak sepenuhnya positif. Di dunia maya, terutama pada kolom komentar artikel yang dipublikasikan oleh Japan Today, muncul berbagai pandangan kritis dan bahkan sentimen anti-Muslim. Beberapa warganet berpendapat bahwa ruang yang digunakan untuk musala seharusnya diprioritaskan untuk fasilitas lain yang lebih inklusif, seperti tempat duduk atau area istirahat yang dapat digunakan oleh semua pengunjung.
Seorang warganet mengungkapkan bahwa pusat perbelanjaan di Jepang umumnya memiliki sedikit tempat duduk umum dibandingkan dengan negara maju lainnya. Ia menyarankan agar ruang dan dana yang tersedia lebih baik digunakan untuk menyediakan fasilitas yang bisa dinikmati oleh semua orang, bukan hanya untuk kelompok tertentu. Warganet lain menambahkan bahwa musala tidak seharusnya disamakan dengan kebutuhan dasar seperti kamar mandi dan ruang menyusui, yang memenuhi kebutuhan fisik manusia, sementara musala hanya memenuhi kebutuhan spiritual yang dianggap sebagai pilihan pribadi.
Ada pula yang mengkritik langkah ini dengan menyebutnya sebagai strategi komersial semata. Beberapa warganet berpendapat bahwa tujuan utama penyediaan musala di pusat perbelanjaan hanyalah untuk menarik lebih banyak pelanggan Muslim dan meningkatkan penjualan. Komentar bernada skeptis ini mencerminkan kekhawatiran sebagian warganet terhadap dampak sosial yang mungkin ditimbulkan oleh tren ini, dengan mengacu pada contoh-contoh di beberapa negara Eropa.
Terlepas dari reaksi yang beragam, tren penyediaan musala di pusat perbelanjaan Jepang tampaknya akan terus berlanjut, sejalan dengan meningkatnya jumlah wisatawan Muslim yang berkunjung ke negara tersebut. Penyediaan fasilitas ibadah ini dinilai sebagai langkah penting dalam memberikan layanan yang inklusif dan ramah terhadap kebutuhan spiritual turis dari berbagai latar belakang agama.
(lam)