Seblak Khas Bandung Mendunia: Tren Kuliner Pedas dari Indonesia Mengguncang Thailand
Tim langit 7
Rabu, 24 September 2025 - 16:03 WIB
Seblak Khas Bandung Mendunia: Tren Kuliner Pedas dari Indonesia Mengguncang Thailand
LANGIT7.ID–Jakarta;Seblak, kuliner pedas khas Bandung, Jawa Barat, kini menjadi fenomena global yang tak terduga. Tweet dari @IndoPopBase pada 21 September 2025 yang memicu perhatian pengguna X (Twitter): "Seblak is currently trending in Thailand." Tweet ini dilengkapi dengan gambar seblak berisi mi spiral, seafood, dan saus cabai yang menggoda, serta bendera Thailand, menandakan popularitas yang melonjak di negeri Gajah Putih. Harga seblak di Bangkok bahkan disebut mencapai 250 baht per porsi, menunjukkan antusiasme kuliner lintas negara.
Seblak, yang awalnya merupakan kreasi sederhana dari masyarakat Sunda untuk memanfaatkan kurupuk basi sejak awal 2000-an, kini telah berevolusi menjadi hidangan yang kaya akan variasi. Menurut artikel dari Wikipedia yang diperbarui hingga 2025, seblak dibuat dengan kurupuk basah yang dimasak bersama protein seperti telur, ayam, atau seafood, serta bumbu pedas khas yang terdiri dari bawang putih, kencur, dan sambal. Di Indonesia, hidangan ini biasa dijual oleh pedagang kaki lima dengan harga terjangkau, namun di Thailand, adaptasi lokal dengan tambahan seafood dan level kepedasan yang disesuaikan tampaknya menjadi kunci kesuksesannya.
Tren ini didorong oleh kekuatan media sosial, di mana video dan foto seblak viral di platform seperti TikTok dan Instagram. Banyak pedagang Thailand yang mulai menawarkan versi mereka sendiri, sering kali dengan sentuhan lokal seperti tambahan rempah-rempah khas Thailand. Sebuah laporan di media sosial pada 21 September 2025 menyebutkan bahwa antrean panjang terlihat di beberapa warung di Bangkok, menandakan antusiasme masyarakat lokal terhadap hidangan ini. Hal ini menunjukkan bagaimana kuliner dapat menjadi jembatan budaya, meski juga memicu kekhawatiran tentang otentisitas resep asli.
Di kalangan netizen Indonesia, reaksi beragam muncul sebagai respons terhadap tren ini. Ada yang bangga melihat kuliner lokal mendapat pengakuan internasional, seperti yang diungkapkan oleh @huedaya yang mengusulkan: "Dear Thai people, let's propose today as International Seblak Day as a celebration of our brotherhood, deal?" Namun, tak sedikit pula yang khawatir bahwa adaptasi Thailand dapat mengaburkan identitas asli seblak. Komentar seperti dari @Rumahdepok_ menyoroti tantangan gastrodiplomasi Indonesia, di mana makanan lokal sering dikritik oleh masyarakat sendiri sebelum mendapatkan apresiasi global.
Sejarah seblak sendiri menambah dimensi menarik pada popularitasnya saat ini. Menurut penelitian yang diterbitkan di *Jurnal Pariwisata dan Budaya* pada Desember 2024, hidangan ini pertama kali muncul di pedesaan Cianjur sebelum berkembang pesat di Bandung pada era 1990-an. Awalnya, seblak kering berupa kerupuk pedas menjadi makanan alternatif, namun versi basah yang kini populer lahir dari inovasi untuk mengolah kurupuk yang sudah tidak renyah. Perjalanan ini mencerminkan ketahanan kuliner tradisional dalam menghadapi perubahan zaman dan selera masyarakat.
Hubungan biogeografis antara Indonesia dan Thailand juga turut diangkat dalam diskusi ini. Akun @motherlander menyebutkan: "It's expected, as subregion of Sundaland" sambil menyertakan peta, merujuk pada sejarah Sundaland, wilayah kuno yang menghubungkan kedua negara melalui jembatan darat pada era prasejarah. Penelitian dari *Sundaland Project* (2019) mendukung teori ini, menunjukkan adanya pertukaran budaya dan genetik yang mungkin memengaruhi kesamaan rasa atau bahan makanan di kedua wilayah. Bendera Thailand dalam tweet @IndoPopBase bisa dilihat sebagai simbol persaingan sehat atau solidaritas kuliner.
Namun, popularitas seblak di luar negeri juga membawa tantangan baru. Harga 250 baht yang disebutkan dalam tren tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata di Indonesia, yang biasanya berkisar antara Rp15.000 hingga Rp30.000 per porsi. Beberapa netizen, seperti @sighyam, mengkhawatirkan: "I apologise in advance to Indonesians if foreigners start buying seblak made here and think it’s from Thailand." Hal ini menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk lebih proaktif dalam mempromosikan kuliner lokal melalui gastrodiplomasi, sebagaimana dilakukan oleh negara seperti Thailand dengan tom yum-nya.
Seblak, yang awalnya merupakan kreasi sederhana dari masyarakat Sunda untuk memanfaatkan kurupuk basi sejak awal 2000-an, kini telah berevolusi menjadi hidangan yang kaya akan variasi. Menurut artikel dari Wikipedia yang diperbarui hingga 2025, seblak dibuat dengan kurupuk basah yang dimasak bersama protein seperti telur, ayam, atau seafood, serta bumbu pedas khas yang terdiri dari bawang putih, kencur, dan sambal. Di Indonesia, hidangan ini biasa dijual oleh pedagang kaki lima dengan harga terjangkau, namun di Thailand, adaptasi lokal dengan tambahan seafood dan level kepedasan yang disesuaikan tampaknya menjadi kunci kesuksesannya.
Tren ini didorong oleh kekuatan media sosial, di mana video dan foto seblak viral di platform seperti TikTok dan Instagram. Banyak pedagang Thailand yang mulai menawarkan versi mereka sendiri, sering kali dengan sentuhan lokal seperti tambahan rempah-rempah khas Thailand. Sebuah laporan di media sosial pada 21 September 2025 menyebutkan bahwa antrean panjang terlihat di beberapa warung di Bangkok, menandakan antusiasme masyarakat lokal terhadap hidangan ini. Hal ini menunjukkan bagaimana kuliner dapat menjadi jembatan budaya, meski juga memicu kekhawatiran tentang otentisitas resep asli.
Di kalangan netizen Indonesia, reaksi beragam muncul sebagai respons terhadap tren ini. Ada yang bangga melihat kuliner lokal mendapat pengakuan internasional, seperti yang diungkapkan oleh @huedaya yang mengusulkan: "Dear Thai people, let's propose today as International Seblak Day as a celebration of our brotherhood, deal?" Namun, tak sedikit pula yang khawatir bahwa adaptasi Thailand dapat mengaburkan identitas asli seblak. Komentar seperti dari @Rumahdepok_ menyoroti tantangan gastrodiplomasi Indonesia, di mana makanan lokal sering dikritik oleh masyarakat sendiri sebelum mendapatkan apresiasi global.
Sejarah seblak sendiri menambah dimensi menarik pada popularitasnya saat ini. Menurut penelitian yang diterbitkan di *Jurnal Pariwisata dan Budaya* pada Desember 2024, hidangan ini pertama kali muncul di pedesaan Cianjur sebelum berkembang pesat di Bandung pada era 1990-an. Awalnya, seblak kering berupa kerupuk pedas menjadi makanan alternatif, namun versi basah yang kini populer lahir dari inovasi untuk mengolah kurupuk yang sudah tidak renyah. Perjalanan ini mencerminkan ketahanan kuliner tradisional dalam menghadapi perubahan zaman dan selera masyarakat.
Hubungan biogeografis antara Indonesia dan Thailand juga turut diangkat dalam diskusi ini. Akun @motherlander menyebutkan: "It's expected, as subregion of Sundaland" sambil menyertakan peta, merujuk pada sejarah Sundaland, wilayah kuno yang menghubungkan kedua negara melalui jembatan darat pada era prasejarah. Penelitian dari *Sundaland Project* (2019) mendukung teori ini, menunjukkan adanya pertukaran budaya dan genetik yang mungkin memengaruhi kesamaan rasa atau bahan makanan di kedua wilayah. Bendera Thailand dalam tweet @IndoPopBase bisa dilihat sebagai simbol persaingan sehat atau solidaritas kuliner.
Namun, popularitas seblak di luar negeri juga membawa tantangan baru. Harga 250 baht yang disebutkan dalam tren tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata di Indonesia, yang biasanya berkisar antara Rp15.000 hingga Rp30.000 per porsi. Beberapa netizen, seperti @sighyam, mengkhawatirkan: "I apologise in advance to Indonesians if foreigners start buying seblak made here and think it’s from Thailand." Hal ini menjadi pelajaran bagi Indonesia untuk lebih proaktif dalam mempromosikan kuliner lokal melalui gastrodiplomasi, sebagaimana dilakukan oleh negara seperti Thailand dengan tom yum-nya.