home masjid

Ketika Ayat Menghapus Ayat: Logika Sejarah di Balik Doktrin Naskh

Jum'at, 24 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Naskh bukan sekadar pencabutan ayat, melainkan cara wahyu berdialog dengan sejarah dan perubahan zaman. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID- Jakarta, awal 1990-an. Di sebuah ruang diskusi kecil di bilangan Jakarta Selatan, sekelompok intelektual muda membincangkan tema yang tak biasa: naskh yakni doktrin tentang penghapusan hukum dalam Al-Qur’an.

Di tangan para pembaharu, konsep klasik itu bukan lagi sekadar wacana teologis, tapi pintu untuk memahami bagaimana wahyu menyesuaikan diri dengan perjalanan sejarah manusia.

Buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarahterbitan Yayasan Paramadina menjadi rujukan. Di dalamnya, KH Ali Yafie, ulama senior dan pakar fikih, menulis esai tajam tentang Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an—sebuah pembacaan fiqh yang disajikan dengan kesadaran historis dan rasionalitas hukum yang hidup.

Dalam ilmu tafsir dan ushul fiqh, naskh menempati posisi penting. Ia bukan sekadar “pembatalan hukum”, tetapi bagian dari proses tafsir: cara memahami kapan dan mengapa suatu ketentuan hukum berhenti berlaku.

KH Ali Yafie, mengutip Imam Subki, menulis bahwa naskh memiliki dua fungsi utama: mencabut (raf‘) dan menjelaskan (bayan). Dilihat dari sisi formal, naskh tampak seperti pencabutan; namun dari sisi substansi, ia justru menjelaskan konteks baru di mana hukum lama tak lagi relevan.

“Dari situ,” tulisnya, “dapat dilihat bahwa fungsi pokok naskh adalah salah satu bentuk interpretasi hukum.” Artinya, setiap ayat yang “menghapus” ayat lain sesungguhnya adalah tanda perubahan ruang sosial yang direspons oleh wahyu.

Hirarki Penafsiran
Baca Selanjutnya
Bagikan artikel ini:
Berita Lainnya
berita lainnya