LANGIT7.ID- Jakarta, awal 1990-an. Di sebuah ruang diskusi kecil di bilangan Jakarta Selatan, sekelompok intelektual muda membincangkan tema yang tak biasa: naskh yakni doktrin tentang penghapusan hukum dalam Al-Qur’an.
Di tangan para pembaharu, konsep klasik itu bukan lagi sekadar wacana teologis, tapi pintu untuk memahami bagaimana wahyu menyesuaikan diri dengan perjalanan sejarah manusia.
Buku
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah terbitan Yayasan Paramadina menjadi rujukan. Di dalamnya, KH Ali Yafie, ulama senior dan pakar fikih, menulis esai tajam tentang
Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an—sebuah pembacaan fiqh yang disajikan dengan kesadaran historis dan rasionalitas hukum yang hidup.
Dalam ilmu tafsir dan ushul fiqh, naskh menempati posisi penting. Ia bukan sekadar “pembatalan hukum”, tetapi bagian dari proses tafsir: cara memahami kapan dan mengapa suatu ketentuan hukum berhenti berlaku.
KH Ali Yafie, mengutip Imam Subki, menulis bahwa naskh memiliki dua fungsi utama: mencabut (raf‘) dan menjelaskan (bayan). Dilihat dari sisi formal, naskh tampak seperti pencabutan; namun dari sisi substansi, ia justru menjelaskan konteks baru di mana hukum lama tak lagi relevan.
“Dari situ,” tulisnya, “dapat dilihat bahwa fungsi pokok naskh adalah salah satu bentuk interpretasi hukum.” Artinya, setiap ayat yang “menghapus” ayat lain sesungguhnya adalah tanda perubahan ruang sosial yang direspons oleh wahyu.
Hirarki PenafsiranKH Ali Yafie menegaskan bahwa naskh tidak boleh menjadi pintu pertama dalam menafsirkan hukum. Sebelum sampai pada kesimpulan bahwa satu ayat menghapus yang lain, para mufasir harus menempuh dua langkah tafsir utama: jam‘ (mengompromikan dua teks yang tampak bertentangan) dan *tarjih* (memilih yang lebih kuat berdasarkan dalil).
Jika semua upaya itu gagal, barulah muncul kemungkinan nasikh–mansukh. Kuncinya: aspek sejarah. Ayat harus dipahami bersama
asbab al-nuzul-nya (sebab turunnya), dan hadis dengan
asbab al-wurud-nya. Dengan demikian, naskh adalah hasil tertinggi dari kerja tafsir—bukan keputusan tergesa.
Batas Penghapusan: Hukum, Bukan NilaiTak semua ayat bisa dinasakh. Mengutip Imam Ghazali dan Imam Thabari, Ali Yafie menegaskan bahwa naskh hanya berlaku untuk perintah dan larangan, bukan untuk berita (akhbar) atau nilai moral. “Tidak mungkin Allah mencabut kebenaran universal seperti keadilan atau kejujuran,” tulisnya.
Ia lalu membuat analogi menarik: Dalam sistem hukum modern, naskh dapat dibandingkan dengan perubahan pada undang-undang organik, bukan konstitusi dasar. “Undang-undang dasar tak bisa dicabut. Yang berubah hanyalah peraturan turunannya.” Begitu pula dalam hukum Islam: nilai moral abadi, tetapi praktik hukumnya bisa berganti.
Mengapa Tuhan menurunkan hukum yang kemudian dihapus? Al-Qur’an sendiri memberi jawab: karena wahyu turun bertahap—tadarruj—selama lebih dari dua dekade.
KH Ali Yafie, mengutip Syekh al-Qasimi, menyebut bahwa naskh adalah cara Tuhan mendidik manusia melalui proses bertahap. Bangsa Arab kala itu belum siap menerima seluruh hukum sekaligus; mereka harus tumbuh dari masyarakat lokal menuju umat universal.
“Kalau naskh terjadi di alam raya dan tak ada yang menolaknya,” tulis al-Qasimi dalam rujukannya, “mengapa kita mempersoalkan naskh dalam wahyu?”
Dengan bahasa modern, KH Ali Yafie menyebut naskh sebagai mekanisme spiritual untuk mengatur laju perubahan sosial tanpa kehilangan arah ilahi.
Hukum yang Hidup, Wahyu yang BergerakDi tangan KH Ali Yafie, naskh bukan sekadar teori pencabutan hukum. Ia menjadi simbol penting bahwa Islam adalah agama yang dinamis, yang hukum-hukumnya lahir untuk memelihara kehidupan, bukan membekukannya.
Bagi Paramadina, semangat seperti ini menandai dialog kreatif antara tradisi dan modernitas. Bahwa dalam wahyu pun, perubahan adalah bagian dari sunnatullah—dan kesetiaan sejati bukan pada bentuk lama, melainkan pada ruh keadilannya.
Dalam pandangan klasik, naskh adalah teknik hukum. Dalam pembacaan KH Ali Yafie, ia menjelma menjadi metafora kesadaran sejarah umat. Bahwa wahyu bukan turun di ruang kosong, melainkan di tengah manusia yang tumbuh, belajar, dan berubah.
Barangkali, di situlah letak rahmat terbesar dari doktrin ini: bukan sekadar ayat yang dihapus, tapi akal yang terus beranjak dewasa.
(mif)