LANGIT7.ID-Nama Qarun dalam Al-Qur’an muncul sebagai simbol klasik kerakusan. Ia bukan sekadar orang kaya: ia kaya raya sampai-sampai “kunci-kunci perbendaharaannya saja dipikul oleh orang-orang kuat” (QS al-Qashash: 76). Namun Al-Qur’an juga menegaskan, harta yang ditimbun tanpa amanah hanya berujung kehancuran.
Kisah Qarun ringkas, tapi gaungnya panjang. Ia digambarkan sebagai tokoh Bani Israil yang awalnya terhormat, lalu jatuh karena kesombongan. “Qarun berasal dari kaum Musa, tetapi ia berlaku zalim terhadap mereka,” demikian Al-Quran menyebut. Sejarawan klasik, al-Tabari, meriwayatkan bahwa Qarun dikenal pandai membaca Taurat, bahkan disebut sepupu Nabi Musa. Tetapi, harta membuatnya berbalik: dari alim menjadi angkuh.
Ibn Katsir dalam
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menulis, Qarun adalah orang pertama yang memperkenalkan “miizaan”—timbangan emas—di kalangan Bani Israil. Ia punya teknik mengolah harta yang membuat kekayaannya melimpah. Tapi kelebihannya dipakai untuk menimbun, bukan berbagi.
Sayyid Qutb dalam
Fi Zhilal al-Qur’an menafsirkan, tragedi Qarun adalah tragedi manusia yang memisahkan harta dari iman. Ia merasa “semua ini aku dapatkan karena ilmuku” (QS al-Qashash: 78). Baginya, kekayaan adalah hasil kecerdikan, bukan anugerah Tuhan. Itulah awal kesombongan.
Baca juga: Kisah Qarun Sang Crazy Rich Era Firaun yang Disinggung Cak Nun Fazlur Rahman dalam
Major Themes of the Qur’an (1980) melihat Qarun sebagai cermin kapitalisme purba: harta dipakai untuk status sosial, menindas sesama, dan menolak solidaritas. “Qarunisme,” kata Rahman, “adalah ketika kekayaan membuat manusia buta, hingga lupa fungsi sosial harta.”
Al-Qur’an merekam, orang-orang saleh mengingatkan Qarun: jangan sombong, gunakan hartamu untuk akhirat, jangan lupakan bagian dunia, dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik padamu (QS al-Qashash: 77). Tapi Qarun menolak. Ia pamer kemewahan di depan rakyat. Sebagian orang tergoda: “Andai kita punya seperti Qarun.”
Quraish Shihab dalam
Tafsir al-Mishbah menekankan, kisah ini sengaja dituturkan dalam bentuk dialog sosial. Ada kaum bijak, ada rakyat yang silau, ada Qarun yang angkuh. Konteksnya universal: setiap zaman selalu ada orang kaya yang dipuja, lalu lupa pada fungsi sosial kekayaannya.
Lalu datanglah akhir yang mengejutkan. Al-Qur’an menegaskan: “Maka Kami benamkan dia bersama rumahnya ke dalam bumi” (QS al-Qashash: 81). Dalam tafsir al-Tabari, rumah Qarun lenyap ditelan tanah di depan kaumnya. Mereka yang semula tergoda segera insaf: “Wahai, benarlah, Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki, dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.”
Tragedi Qarun bukan hanya peristiwa fisik. Ia simbol kehancuran sistemik: kekayaan yang tak terikat etika akan menggali lubang bagi pemiliknya sendiri.
Cermin Zaman ModernApakah Qarun hanya dongeng? Ulama sepakat tidak. Ia kisah nyata, tapi lebih dari itu: ia arketipe. Yusuf Qardhawi dalam
Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim menyebut Qarun sebagai pelajaran abadi tentang “penguasa harta” yang lupa fungsi sosial kekayaan.
Baca juga: Qarun, Gemar Pamer Harta dan Dibenamkan ke Bumi karena Sombong Di dunia modern, Qarunisme hadir dalam bentuk kapitalisme predatoris, oligarki bisnis, atau pejabat yang menumpuk kekayaan dengan korupsi. Joseph Schacht dalam kajian hukum Islam menulis, salah satu tujuan zakat adalah menutup celah Qarunisme: agar harta tak hanya beredar di kalangan orang kaya (QS al-Hasyr: 7).
Dari Panama Papers hingga kasus-kasus korupsi tanah air, bayangan Qarun terasa dekat. Orang-orang yang menganggap kekayaan sebagai hasil “kepandaian” semata, lalu memamerkan gaya hidup mewah, tanpa peduli pada keadilan sosial.
Pesan utama Al-Qur’an jelas: kekayaan bukan dosa, tapi ia menuntut amanah. Dalam tafsir al-Razi, harta harus ditempatkan dalam fungsi etis: sebagai sarana ibadah, pemberdayaan, dan kemaslahatan. Jika tidak, harta menjadi fitnah—ujian yang bisa menenggelamkan.
Di Indonesia, cerita Qarun sering dikutip dalam khutbah. Tapi pesan sejatinya lebih tajam: Qarun bukan sekadar pribadi, melainkan sistem. Ia hidup dalam mentalitas masyarakat yang kagum pada harta, tak peduli dari mana asalnya.
Dan Al-Qur’an memberi penutup pahit: Qarun, Fir’aun, dan Haman—kapitalis, tiran, dan politisi oportunis—tenggelam bersama-sama. Koalisi gelap ini, menurut Sayyid Qutb, adalah “tiga wajah kekuasaan tanpa iman: otoriter, oportunis, dan materialis.”
Akhir kata, Qarun memang hilang tertimbun tanah. Tapi bayangannya tak pernah sirna. Dari Mesir kuno hingga negara modern, dari istana hingga gedung bursa, kisahnya terus berulang: kekayaan tanpa amanah akan menelan pemiliknya.
Seperti ditulis Fazlur Rahman, “Qarun adalah peringatan bahwa ilmu, teknologi, dan harta yang dilepaskan dari etika hanyalah jalan menuju kehancuran.”
(mif)