LANGIT7.ID-Di ruang-ruang rapat ekonomi hari ini, uang kerap dianggap segalanya: alat ukur kekuasaan, instrumen pembangunan, bahkan—kadang—penghancur tatanan sosial. Tapi dalam khazanah klasik Islam, uang (mal) sesungguhnya diposisikan bukan sebagai pusat, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang lebih besar: manusia dan alam.
Fuad Abdul Baqi dalam
Mu’jam al-Muhfarras mencatat, kata mal terulang 25 kali dalam Al-Qur’an dalam bentuk tunggal, dan
amwal sebanyak 61 kali. Analisis Hassan Hanafi dalam
Ad-Din wa ats-Tsaurah menunjukkan dua pola penggunaan: pertama, harta tanpa nisbah kepemilikan, seperti potensi sumber daya yang ada begitu saja; kedua, harta yang dikaitkan dengan subjek tertentu—“harta mereka”, “harta anak yatim”—yang menjadi objek kegiatan manusia. Menariknya, bentuk kedua inilah yang paling sering muncul, memberi kesan bahwa harta atau uang mestinya diputar dalam aktivitas sosial-ekonomi, bukan dibekukan.
Al-Qur’an menempatkan uang sebagai salah satu faktor produksi penting, tetapi bukan yang terpenting. Manusialah yang diberi mandat untuk memanfaatkan modal, dengan alam sebagai sumber daya utama. Perspektif ini jelas bertentangan dengan kapitalisme modern yang kerap memuja uang di atas segalanya—bahkan dengan mengorbankan manusia dan lingkungan.
Baca juga: Fikih Prioritas: Mendidik Sebelum Mengangkat Senjata Fiqh klasik menegaskan modal tidak boleh habis dipakai, melainkan dikelola agar produktif. Surat al-Nisa’ (4):5, “
Warzuquhum fiha” (beri nafkah dari dalam modal), menjadi basis tafsir: pengelolaan harta mesti menghasilkan laba, bukan menggerus pokok. Dari sinilah lahir kritik atas riba dan perjudian—praktik yang dianggap menjadikan uang “beranak” tanpa keterlibatan tenaga manusia.
“Ketika uang hanya ditimbun, ia melawan fitrah penciptaannya,” tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam
Fiqh Prioritas (1996). Karena itu pula zakat atas harta—walau tak diputar—dikenakan 2,5 persen, sebuah mekanisme yang mendorong peredaran modal sekaligus menekan spekulasi.
Ancaman PenimbunanPeringatan keras muncul dalam QS. al-Tawbah [9]:34: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” Ayat ini menjadi semacam kritik abadi terhadap praktik “hoarding”—penimbunan harta yang justru mematikan ekonomi riil.
Di sinilah uang menemukan peran etisnya: ia bukan sekadar angka, melainkan sarana distribusi kehidupan. Fiqh muamalah kemudian mengembangkan instrumen yang relevan hingga hari ini: murabahah (jual beli dengan margin), mudharabah (kerja sama modal dan tenaga), dan musyarakah (patungan modal). Ketiganya adalah cara agar modal tidak diam, tapi produktif dengan risiko yang adil.
Baca juga: Makruh: Antara Larangan dan Adab dalam Fikih Islam Apa yang digariskan Al-Qur’an ini terasa seperti antitesis terhadap finansialisasi ekstrem di era globalisasi. Ketika uang berubah jadi “komoditas” yang diperjualbelikan tanpa basis produksi nyata, krisis kerap mengintai. Sejarah membuktikan: gelembung finansial 2008, krisis Asia 1997, hingga tren spekulasi kripto hari ini.
Dengan kata lain, pesan klasik ini tetap relevan: uang adalah alat, bukan tujuan. Ia harus berputar, bukan ditimbun. Ia harus dikendalikan manusia, bukan sebaliknya.
Sebagaimana Hassan Hanafi pernah menulis, “Agama memberi fondasi etis pada harta: ia bukan milik mutlak manusia, melainkan titipan sosial.”
(mif)