LANGIT7.ID-Sejarah kerap mengulang dirinya, meski dalam wajah berbeda. Dalam Al-Qur’an, tiga sosok menjadi simbol kebusukan kekuasaan: Fir’aun, sang diktator; Haman, politikus oportunis; dan Qarun, kapitalis rakus. Mereka bukan sekadar tokoh masa lalu, melainkan representasi abadi tentang bagaimana kekuasaan, politik, dan harta bisa bersekutu melawan kebenaran.
Fir’aun tampil arogan: “Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS Al-Qashash: 38). Qarun pongah dengan hartanya: “Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS Al-Qashash: 78). Dan Haman, menteri setia Fir’aun, mengerahkan kecerdikannya bukan untuk rakyat, melainkan untuk melanggengkan kekuasaan tiran.
Kisah mereka bukan sekadar dongeng religius. Ulama klasik maupun pemikir kontemporer menegaskan, ketiganya adalah peringatan politik yang terus relevan.
Dalam tafsir
Fi Zhilal al-Qur’an, Sayyid Qutb menyebut Fir’aun sebagai simbol “thughyan”—kekuasaan yang melampaui batas. Ia menundukkan rakyat Mesir dengan propaganda, kekerasan, dan kultus pribadi. Fir’aun bukan hanya menindas Bani Israil, tapi juga memaksa rakyat Mesir tunduk pada narasi tunggal: bahwa dirinya tuhan.
Sejarawan Mesir, Muhammad Abu Zahrah, menulis bahwa kecaman Al-Qur’an terhadap Fir’aun tidak berhenti pada sosoknya, melainkan pada sistem yang dibangun. “Fir’aunisme” adalah model tirani yang menutup pintu kritik, menolak musyawarah, dan menjadikan hukum sekadar alat legitimasi.
Haman: Politikus OportunisNama Haman muncul enam kali dalam Al-Qur’an, selalu berdampingan dengan Fir’aun. Yusuf Qardhawi dalam
Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim (1997) menegaskan, Haman adalah prototipe birokrat yang menjual akal dan kreativitasnya demi kepentingan tiran. Ia diminta Fir’aun membangun menara tinggi, simbol kesombongan sekaligus tipu daya politik.
Dalam tafsir Ibn Katsir, Haman digambarkan sebagai orang yang sebenarnya tahu kebenaran Nabi Musa, tetapi memilih menutup mata. Kesalahannya bukan pada kebodohan, melainkan pada pilihan sadar untuk mengkhianati nurani. Ia adalah wajah politisi sepanjang zaman: pintar, lihai, tapi menjilat kekuasaan.
Qarun: Kapitalis RakusJika Fir’aun melambangkan kekuasaan dan Haman politik, maka Qarun adalah lambang kekayaan tanpa moral. Kunci-kunci perbendaharaan Qarun, kata Al-Qur’an, “terlalu berat dipikul oleh orang-orang kuat.” (QS Al-Qashash: 76). Tetapi ia menolak berbagi, menolak zakat, bahkan merendahkan kaum lemah.
Imam al-Ghazali dalam
Ihya Ulumuddin menyebut Qarun sebagai contoh klasik manusia yang tertipu oleh harta. Ia percaya bahwa ilmunya—bukan karunia Allah—membuatnya kaya. Kesombongan inilah yang akhirnya menenggelamkan Qarun bersama hartanya ke dalam bumi.
Bagi Fazlur Rahman, pemikir Pakistan, kisah Qarun adalah kritik tajam terhadap kapitalisme yang tak terkendali. “Islam menolak akumulasi harta yang tak bermanfaat bagi masyarakat,” tulisnya dalam
Islam and Modernity (1982).
Mengapa Al-Qur’an menempatkan tiga sosok ini berdekatan? Menurut M. Quraish Shihab dalam
Tafsir al-Mishbah, mereka melambangkan segitiga gelap: penguasa tiran (Fir’aun), birokrat korup (Haman), dan kapitalis tamak (Qarun). Ketiganya saling menopang, membentuk jaringan kuasa yang menindas rakyat.
Kritik Al-Qur’an, kata Quraish Shihab, bukan hanya pada pribadi, tapi pada struktur: kekuasaan tanpa kontrol, politik tanpa moral, dan harta tanpa keadilan. Ketika ketiganya bersatu, masyarakat jatuh ke jurang kerusakan.
Pertanyaan kemudian: apakah trio ini hanya kisah kuno? Sejarawan kontemporer Michael Cook dalam
Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought (2000) melihatnya sebagai “archetype”—archetype penyimpangan kekuasaan yang bisa muncul di setiap zaman.
Di banyak negara, wajah Fir’aun hadir dalam bentuk diktator modern. Haman muncul sebagai politisi atau teknokrat yang kehilangan integritas. Qarun hidup dalam oligarki ekonomi, yang menumpuk kekayaan dengan mengabaikan keadilan sosial.
Indonesia pun tak kebal. Dari kongkalikong politik-bisnis, birokrasi yang tunduk pada penguasa, hingga kapitalisme yang menggerus solidaritas sosial—semua bisa dibaca dalam cermin Fir’aun, Haman, dan Qarun.
Pelajaran dari Al-Qur’anAl-Qur’an menutup kisah mereka dengan murka: Fir’aun ditenggelamkan di laut, Qarun ditelan bumi, Haman dilaknat. Hukuman mereka bukan sekadar akhir tragis, melainkan pesan: kekuasaan, politik, dan harta tanpa iman hanya akan berakhir dalam kehinaan.
Dalam tafsir Ibn ‘Ashur, disebutkan bahwa Al-Qur’an mengabadikan nama-nama ini agar umat manusia selalu waspada. Fir’aun, Haman, dan Qarun mungkin telah mati, tetapi “isme” mereka hidup dalam sejarah.
Kisah tiga sosok ini adalah teguran keras Al-Qur’an terhadap bahaya koalisi gelap. Fir’aunisme bukan sekadar soal masa lalu Mesir Kuno, tetapi mentalitas yang bisa lahir di mana saja. Hamanisme bukan sekadar pejabat istana, tetapi setiap politikus yang menjilat. Qarunisme bukan sekadar saudagar kuno, tetapi setiap kapitalisme rakus yang menolak berbagi.
Akhir kata: Al-Qur’an mengajarkan, musuh umat bukan hanya kafir di luar, tetapi juga Fir’aun, Haman, dan Qarun yang bisa lahir di dalam masyarakat sendiri.
(mif)