LANGIT7.ID-Di suatu percetakan sederhana di Singapura tahun 1870, seorang murid asal Palembang menyalin naskah gurunya di atas lembaran litograf tipis. Judulnya
Futuh al-‘Arifin—“Kemenangan Kaum Berilmu”. Di halaman pertama tercetak nama Ahmad Khatib dari Sambas, ulama kelana dari Kalimantan yang menggabungkan dua tarekat besar: Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah.
Tak ada yang istimewa bagi mata awam. Tapi bagi sejarah Islam Nusantara, buku itu menjadi simbol lahirnya modernitas religius, saat ajaran tasawuf mulai berpindah dari lisan dan manuskrip menjadi teks tercetak—terjangkau, berlipat, dan menyebar.
Sejarawan Michael Laffan, dalam
The Makings of Indonesian Islam (2011), menulis bahwa “peran percetakan melengkapi keunggulan Naqsyabandiyyah” dalam menaklukkan jejaring keagamaan di Asia Tenggara. Mesin cetak, tulisnya, menjadi tangan baru para sufi.
Laffan mencatat bahwa keberhasilan Naqsyabandiyyah tidak hanya disebabkan oleh silsilah Mekahnya, tapi juga karena kelincahan mereka menguasai teknologi teks. Di Jabal Abi Qubays—perbukitan yang menaungi Mekah—para syekh Naqsyabandi Suriah menerbitkan buku-buku panduan tarekat seperti
Jami‘ al-Usul fi al-Awliya’ karya Ahmad al-Kumushkhanawi dan al-Bahja al-Saniyya karya Abd al-Majid al-Khani.
Buku-buku itu dicetak di Istanbul, Beirut, dan Kairo, lalu dibawa pulang oleh para haji Jawi. Bersama tasbih dan air zamzam, kitab cetak menjadi oleh-oleh spiritual yang berharga.
Gelombang penerbitan itu mengilhami para ulama Nusantara. Ahmad Khatib dari Sambas menerbitkan
Futuh al-‘Arifin di Singapura, lalu versi tipografisnya—yang lebih rapi—muncul di Mekah tahun 1887 dengan judul baru,
Fath al-‘Arifin. Laffan menulis bahwa “litografi murahan di pelabuhan Melayu” segera berubah menjadi **bisnis pengetahuan dan zikir**.
Pasar Tarekat dan Patron DagangKarya Khatib bukan satu-satunya. Di Penang, tahun 1868, Isma‘il al-Minangkabawi menerbitkan
Mawahib Rabb al-Falak dengan dukungan seorang pedagang Palembang. Tak hanya mendorong dakwah, para patron itu juga tahu: kitab tarekat adalah komoditas religius.
“Para patron semacam itu pastinya tidak menentang keuntungan pribadi dari penyebaran pesan-pesan Khalidi,” tulis Laffan. Bahkan mereka membiarkan anggapan bahwa Syair Mekah dan Madinah (1869) adalah karya Isma‘il sendiri, meski sejatinya hasil suntingan atas teks Da’ud dari Sunur tahun 1834.
Dalam dunia yang baru mengenal mesin cetak, identitas pengarang menjadi kabur, tapi pesan spiritualnya semakin luas.
Kitab Murah, Zikir MassalPada akhir abad ke-19, buku-buku tarekat Naqsyabandiyyah dan Syattariyyah beredar di Sumatra, Jawa, hingga Madura. Salinan litograf dan tulisan tangan beredar berdampingan. “Futuh al-‘Arifin,” tulis Laffan, “berfungsi ganda—baik sebagai teks cetak maupun manuskrip yang terus disalin ulang.”
Harga buku-buku sufi ini murah, jauh di bawah kitab pelajaran pesantren dari Kairo. Dalam satu jilid kecil, pembaca menemukan doa, wasiat, hingga azimat. Banyak yang ditulis dalam bentuk syair—seperti
Syair Hakikat (1867) atau
Syair Syariat dan Tarekat (1881)—yang memberi nasihat bagi “semua anak Tuhan yang muda maupun tua.”
Melalui teks-teks itu, sufi tak lagi elitis. Ia menjadi agama pasar, dibeli di toko-toko kitab Singapura dan dibacakan di surau kecil di Sumatra Barat.
Namun percetakan tak sekadar menyebarkan zikir; ia juga membawa cara berpikir baru. Di Sumatra Barat, misalnya, kaum Naqsyabandiyyah Khalidi menantang Syattariyyah soal penentuan awal bulan kamariah. Kaum Syattari mengandalkan pengamatan mata telanjang, sedangkan Naqsyabandi mengusung hisab ilmiah—perhitungan matematis yang tabelnya dijual di toko-toko buku Mekah dan Padang.
“Kaum tarekat berorientasi Mekah,” tulis Laffan, “berperan dalam mengomunikasikan modernitas.” Bagi mereka, keseragaman waktu, keserentakan zikir, dan ketepatan arah kiblat adalah tanda keterhubungan global—spiritualitas yang teratur dan terukur.
Zikir di Atas Batu LitografiDi balik lembar-lembar batu litografi itu, sesungguhnya tersimpan revolusi sunyi. Percetakan menjadi alat demokratisasi ilmu dalam dunia Islam Asia Tenggara. Ia menyingkirkan batas antara ulama dan awam, antara guru dan murid, antara Mekah dan Minangkabau.
Teks-teks sufi yang dulu beredar terbatas kini dapat diperbanyak dan dikirim bersama kapal uap ke Jawa dan Borneo. Murid tak perlu lagi menunggu guru datang; mereka bisa menyalin ajarannya dari kertas yang baru dicetak.
Modernitas Islam di Nusantara, dengan begitu, lahir bukan hanya dari madrasah atau perlawanan politik, tapi juga dari batu litograf dan tinta hitam yang mengabadikan zikir.
Di awal abad ke-20, Syekh Muhammad al-Khani dari Suriah menulis dalam
al-Bahja al-Saniyya: “Ketahuilah, wahai murid, bahwa kitab-kitab mengenai tarekat itu banyak, jelas, dan terkenal.”
Ia tentu tak membayangkan bahwa seratus tahun kemudian, sebagian besar kitab itu akan berbau tinta Singapura, bercap Palembang, dan beraksara Jawi.
Dari situlah, tulis Michael Laffan, kita melihat bahwa **modernitas Islam di Indonesia bukan datang dari universitas Kairo, melainkan dari kios buku di pesisir Melayu.
(mif)