LANGIT7.ID-Pada penghujung 1883, di tengah riuh Mekah yang padat oleh para peziarah dan pelajar dari berbagai negeri Islam, sebuah fatwa keras mengguncang kalangan tarekat. Dikeluarkan oleh Syekh Ahmad Dahlan**, guru besar yang disegani di Masjidil Haram, fatwa itu menuntut agar ajaran **Sulayman Afandi**—seorang tokoh Khalidiyyah Naqsyabandiyyah—**dihapus dari muka bumi “dengan cara apa pun”**.
Fatwa tersebut, sebagaimana dicatat sejarawan Michael Laffan dalam bukunya
The Makings of Indonesian Islam (Princeton University Press, 2011), bukan sekadar perkara doktrin. Ia mencerminkan perang otoritas di jantung Mekah, yang gema dan percetakannya kelak memantul jauh hingga ke pesisir Sumatra dan Jawa.
Pertanyaan tentang ajaran Sulayman mula-mula datang dari Gubernur Utsmani di Hijaz. Dahlan menjawab tegas: pamflet Sulayman dianggap menghina sesama ulama dan melecehkan tarekat-tarekat lain. Salah satu bait Sulayman yang terkenal menyindir keras rival-rivalnya:
“Seperti orang jangak mereka menari,padahal seperti keledai mereka berbunyi.Mengira diri di jalan penuh restu,dibanding peragu pun mereka lebih keliru.”Dahlan menulis sanggahan panjang, menegaskan bahwa dzikir dengan gerakan bukan bid’ah, dan bahkan memiliki dasar dalam sunnah Nabi. Ia menuntut agar pamflet Sulayman dimusnahkan dan si penulis bertobat. Para ulama Mekah mendukungnya, dan akhirnya Sulayman dipaksa menyerahkan seluruh otoritasnya kepada Khalil Pasha al-Taghistani, pesaing lamanya.
Fatwa itu kemudian dikirim ke Langkat dan Deli—dua kesultanan di pantai timur Sumatra—tempat pengaruh Khalidiyyah sedang kuat. “Perkara ini lebih dari sekadar perdebatan doktrinal,” tulis Laffan. “Ini adalah perebutan monopoli pengaruh atas calon-calon sufi dari Asia Tenggara.”
Mekah sebagai Panggung JawiPertikaian antara Sulayman dan Khalil Pasha adalah cermin dari politik wacana Islam global. Bagi para pelajar dan haji dari Nusantara—dikenal di sana sebagai orang Jawi—Mekah bukan hanya tempat ibadah, melainkan pusat legitimasi keagamaan. Siapa yang diakui di Mekah, akan berpengaruh di tanah air.
Pada masa yang sama, dunia Islam tengah mengalami revolusi lain: revolusi percetakan. Di bawah tangan Ahmad Dahlan, percetakan negara di Mekah mulai menerbitkan karya-karya berbahasa Arab, Turki, dan Melayu. Dahlan berambisi menjadikan Mekah sebagai pusat produksi teks Islam yang “akan mengalahkan dunia”.
Salah satu cabang percetakan itu kemudian dikelola oleh Da’ud al-Fatani dan muridnya Ahmad b. Muhammad Zayn al-Fatani (1856–1908)—dua ulama Patani yang kelak memainkan peran penting dalam sejarah intelektual Islam Nusantara. Jika sebelumnya mereka belajar seni litografi di Singapura, di Mekah mereka memadukannya dengan kecakapan akademik yang tinggi. Hasilnya adalah lahirnya **gelombang baru kitab Jawi cetak.
Dari Kairo ke Mekah: Jejak Jawi di PercetakanAhmad al-Fatani pernah singgah di Kairo pada akhir 1870-an, memeriksa naskah-naskah Melayu seperti Hidayat al-Salikin karya Abd al-Samad al-Falimbani—yang pada 1881 menjadi karya Melayu pertama diterbitkan oleh percetakan negara. Keahliannya membuatnya diangkat sebagai editor naskah-naskah Jawi di Mekah.
“Al-Fatani memastikan serangkaian karya penting orang Patani dan Nusantara diterbitkan di Tanah Suci,” tulis Laffan. Ia bukan hanya mencetak teks lamanya, tetapi juga menyusun buku panduan baru yang disesuaikan dengan kebutuhan pelajar Melayu.
Salah satu karya monumental yang dihasilkan ialah Muhimmat al-Nafa’is (Permata Berharga), diterbitkan pada 1892—sebuah kompilasi dwibahasa Arab-Melayu berisi fatwa-fatwa ulama mazhab Syafi‘i di Mekah. Di tepi halamannya, tertulis komentar Da’ud al-Fatani, membahas soal peringatan wali, hukum dzikir, hingga aturan waris. Buku ini menjadi jembatan antara ortodoksi Mekah dan kehidupan religius di Asia Tenggara.
Fatwa, Cetak, dan KekuasaanMelalui jaringan percetakan Mekah, wacana Islam mengalir ke dunia Melayu dalam bentuk baru—terstruktur, berbahasa Arab-Melayu, dan disahkan oleh ulama Tanah Suci. Tapi, menurut Laffan, di balik kegiatan penerbitan itu juga bersembunyi politik legitimasi.
Fatwa Dahlan terhadap Sulayman, misalnya, bukan semata urusan bid’ah, tapi juga penegasan otoritas Mekah atas Islam Jawi.
Bagi para ulama Nusantara yang menuntut ilmu di sana, percetakan menjadi alat untuk menulis ulang hubungan kuasa. Mereka bisa mencetak teks sendiri, menyebarkannya ke Singapura atau Patani, dan dengan itu memperluas pengaruh. Dari halaman-halaman litografis itu, terbentuklah wajah Islam yang terhubung ke Mekah, tapi juga menyuarakan pengalaman lokal.
Namun tidak semua teks bisa lolos ke mesin cetak Mekah. Menurut Laffan, percetakan resmi di Tanah Suci hanya menerbitkan karya-karya yang “bermoral dan berdisiplin”, jauh dari semangat spekulatif sufi yang masih hidup di Singapura atau Bombay. “Hal ini memunculkan pertanyaan,” tulisnya, “di mana para syekh Jawi sebenarnya menerbitkan karya mereka?”
Jawabannya tersebar: sebagian di Singapura, sebagian di Bombay, sebagian lagi di Mekah. Tapi semuanya membentuk jejaring intelektual Islam transnasional, di mana ajaran, otoritas, dan teknologi saling bertaut.
Pada ujung abad ke-19, halaman-halaman kitab Jawi menjadi arena pertarungan baru. Di satu sisi, ulama seperti Ahmad Dahlan dan Sayyid Utsman berusaha memurnikan ajaran dan menertibkan dunia sufi. Di sisi lain, penerbit seperti Ahmad al-Fatani berupaya memperluas cakrawala pengetahuan bagi murid-murid Jawi.
Dari balik mesin cetak di Mekah, suara Nusantara ikut terbit bersama tinta Arab dan Turki—membangun satu ruang Islam yang tidak sepenuhnya Timur Tengah, tapi juga tidak sepenuhnya lokal. Ia adalah Islam Jawi, yang lahir dari pertemuan antara zikir, fatwa, dan batu litografi.
(mif)