LANGIT7.ID- Di awal abad ke-19, di lereng-lereng bukit Sumatra Barat, api reformasi mulai menyala. Para Tuanku muda di dataran tinggi Minangkabau memproklamasikan diri sebagai kaum putihan—golongan yang mengklaim kesucian dan kemurnian ajaran Islam. Dari Mekah, gema Wahhabisme tiba bersama rombongan haji Jawi. Di tanah air, benih-benih itu bersemi dalam bentuk yang jauh lebih kompleks: gerakan Padri.
Michael Laffan, dalam karyanya
The Makings of Indonesian Islam (Princeton University Press, 2011; terj. Mizan, 2015), menggambarkan masa ini sebagai periode “reformasi dan meluasnya ruang muslim” di Nusantara. “Para cendekiawan Jawi,” tulisnya, “menjalin hubungan dengan wacana Mekah yang tengah bangkit, yang menegaskan kembali norma-norma Ghazalian—memisahkan hukum dari mistisisme.”
Bagi sebagian kalangan, wacana baru itu adalah peluang untuk menertibkan agama dari pengaruh tradisi lokal yang dianggap “menyimpang”. Namun, bagi yang lain, itu adalah ancaman bagi Islam yang telah lama berpadu dengan kebudayaan Nusantara.
Laffan menelusuri bagaimana badai Wahhabisme yang melanda Jazirah Arab pada akhir abad ke-18 mengguncang dunia Islam, termasuk kepulauan ini. Ahmad bin Zayni Dahlan (1816–1886), ulama Mekah, menulis dengan getir tentang “dua malapetaka besar”: invasi Prancis ke Mesir (1798) dan munculnya gerakan Wahhabi di Najd.
Gerakan itu menyerang praktik ziarah, tawassul, hingga bacaan Dalā’il al-Khayrāt, kitab doa populer karya al-Jazuli. Mekah dan Madinah jatuh ke tangan pasukan Wahhabi pada 1806; makam-makam wali dihancurkan, kafilah haji dihalangi.
Berita kekerasan itu menyebar ke Nusantara. Namun alih-alih gentar, sebagian jamaah Jawi justru terinspirasi. Di Sumatra Barat, sekelompok ulama dan haji muda yang baru pulang dari Hijaz mengusung semangat serupa: pemurnian akidah, penghapusan adat, dan pelarangan alkohol, judi, serta pewarisan matrilineal.
Mereka dikenal sebagai kaum Padri.
“Beberapa di antara mereka,” tulis Laffan, “mungkin menyaksikan langsung pendudukan Mekah yang pertama.” Meski ide Wahhabi bergaung di antara mereka, gerakan ini tak dapat disederhanakan sebagai “Wahhabisme lokal”. Di baliknya ada pertarungan yang lebih dalam—antara tarekat tua dan semangat reformasi baru.
Pertempuran di Jantung MinangkabauKonflik Padri bukan sekadar perang agama. Ia adalah benturan tafsir antara dua dunia spiritual: tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah.
Menurut Laffan, gerakan Padri berakar dari lingkaran ulama Syattari yang memberontak terhadap otoritas lama di Ulakan—pusat ajaran Syekh Burhanuddin, pewaris Syattariyah yang pernah menerima mandat Islamisasi dari ‘Abd al-Ra’uf Singkel.
Namun, ketika kekuasaan kerajaan Minangkabau melemah dan ekonomi beralih ke perdagangan kopi di dataran tinggi, muncul Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Nan Tua dari Cangking. Yang pertama membawa semangat reformis radikal; yang kedua berpegang pada tradisi tarekat.
Syekh Jalal al-Din Ahmad dari Samiang, murid Nan Tua, mencatat bagaimana perdebatan teologis berubah menjadi perang berdarah. Masjid dan sekolah dibakar. Desa-desa terbakar dalam api purifikasi. “Delapan Tuanku muda,” tulisnya, “melanjutkan aksi mereka dengan kekuatan penuh, membakar pusat Syattari di Paninjauan, membunuh putra Nan Tua, dan memaksa sang syekh renta itu bersembunyi.”
Perpecahan itu mengubah wajah Islam Minangkabau. Dari mistik yang lembut menjadi moralitas yang keras.
Laffan membaca fase ini sebagai momen “reformasi dari bawah” yang melampaui batas tarekat. Dalam pusaran konflik, ajaran Syattari mulai surut, digantikan oleh praktik Naqsyabandiyah yang lebih global dan terhubung dengan dunia Utsmani.
Syekh Da’ud dari Sunur (w. 1858), salah satu figur penting masa itu, menulis traktat yang menolak doktrin martabat tujuh dan mengagungkan karya-karya Imam al-Ghazali serta Imam Nawawi. Ia menandai pergeseran orientasi intelektual: dari sufisme lokal ke ortodoksi Syafi‘i dan jaringan Naqsyabandiyah internasional.
“Upaya Da’ud,” kata Laffan, “menunjukkan keinginan para ulama Jawi untuk menyesuaikan diri dengan tatanan Islam global tanpa kehilangan identitas lokal.”
Perubahan itu juga menjadi cikal bakal munculnya madrasah, percetakan kitab, dan modernisasi pendidikan Islam pada awal abad ke-20. Dari reruntuhan perang Padri, tumbuh embrio Islam rasionalis yang kelak melahirkan generasi pembaharu seperti Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy‘ari.
Dari Dataran Tinggi ke Dunia ModernApa yang tampak sebagai konflik lokal di Minangkabau sejatinya adalah bagian dari arus besar pembentukan ruang muslim modern di Indonesia. Laffan menolak melihatnya sebagai efek “modernisasi Barat” semata. Baginya, gerakan ini adalah “pergeseran dari spiritualitas istana ke religiusitas rakyat”—sebuah desentralisasi otoritas agama.
Ketika kerajaan-kerajaan melemah di bawah tekanan kolonial, ruang bagi ulama dan jamaah terbuka lebih lebar. Zikir, dakwah, dan pendidikan menjadi instrumen pembentukan publik baru yang tidak lagi berpusat pada istana, melainkan pada komunitas dan jaringan ulama.
Dari sinilah, kata Laffan, “meluasnya ruang muslim” di kepulauan Nusantara bermula. Sebuah ruang yang kelak akan menjadi fondasi Islam Indonesia: dinamis, penuh tafsir, dan selalu bernegosiasi antara syariat dan budaya.
(mif)