LANGIT7.ID-Di sebuah kampung yang kini hanya tersisa jejak benteng tanah liat di Luhak Agam, Sumatra Barat, seorang tua berjubah putih duduk termenung. Namanya tercatat dalam buku-buku sejarah sebagai Tuanku Imam Bonjol—ulama, pejuang, sekaligus pemimpin perang yang namanya menjelma legenda. Namun di balik citranya sebagai pemberontak, tersimpan kisah yang lebih dalam: pergulatan panjang antara mistisisme, kekuasaan, dan modernitas Islam di Nusantara.
Michael Laffan dalam karyanya
The Makings of Indonesian Islam (Princeton University Press, 2011; terj. Mizan, 2015) menyebut masa ini sebagai babak “reformasi dan meluasnya ruang muslim”. Sebuah periode ketika Islam di Nusantara tak lagi hanya berkutat di istana atau pesantren pesisir, tetapi mulai membentuk publik religius yang lebih luas—terdidik, terhubung, dan politis.
Laffan menemukan jejak penting dalam penyebaran tarekat Naqsyabandiyah di Sumatra pada paruh pertama abad ke-19. Ia menulis tentang murid-murid Syekh Da’ud dari Sunur—seorang ulama yang menolak ajaran martabat tujuh dan mempromosikan ortodoksi baru berlandaskan al-Ghazali dan Imam Nawawi.
Salah satu muridnya, Ahmad bin Jalal al-Din, kembali ke Cangking sebagai pengajar Naqsyabandiyah pada 1860-an. Di Trumon, Aceh Selatan, seorang tokoh lokal, Raja Bujang (w. 1832/33), juga disebut-sebut sebagai murid Da’ud. “Jaringan spiritual itu,” tulis Laffan, “menjadi benih bagi bentuk Islam yang lebih rasional, disiplin, dan terhubung dengan dunia Utsmani.”
B.J.O. Schrieke, sejarawan Belanda, mencatat dalam
Indonesian Sociological Studies (1955) bahwa salah satu murid Syekh Da’ud, Isma‘il al-Minangkabawi, bahkan mengibarkan bendera Utsmani di Singapura pada 1850-an—sebuah simbol keterikatan religius dengan dunia Islam global.
Tarekat ini bukan sekadar ritual sufistik; ia adalah kanal komunikasi transnasional. Melalui para haji dan murid-murid Da’ud, ide tentang “reformasi Islam” menyebar dari Mekah ke pesisir Nusantara.
Baca juga: Api Jihad dari Bukit Barisan: Imam Bonjol dan Perang Sabil Minangkabau Padri, Belanda, dan Jihad yang TerkurungNamun gelombang reformasi itu tak berjalan mulus. Di Sumatra Barat, perbedaan tafsir antara kaum adat dan kaum Padri segera berubah menjadi konflik berdarah. Ketika kaum reformis mencoba menegakkan ortodoksi baru, mereka berhadapan dengan kekuatan lama: elite kerajaan, adat matrilineal, dan struktur sosial yang mapan.
Belanda, seperti dicatat Laffan, melihat kesempatan untuk menancapkan pengaruh. Tahun 1821, mereka berpihak pada elite tradisional untuk menumpas Padri. “Ini bukan semata perang agama,” tulis Christine Dobbin dalam
Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra, 1784–1847 (Curzon Press, 1983), “melainkan benturan antara dua model masyarakat: adat komunal melawan puritanisme Islam.”
Perang Padri (1821–1837) menjadi salah satu konflik paling panjang dan mematikan di Hindia Belanda. Imam Bonjol, yang mula-mula menjadi simbol jihad melawan kolonialisme, perlahan mengalami transformasi spiritual.
Laffan menulis, “Imam Bonjol mundur dari posisi garis kerasnya… ia kembali pada dzikr, membaca
Dalā’il al-Khayrāt, dan merenungi tulisan-tulisan al-Yafi‘i.” Dalam dokumen rampasan Belanda, ditemukan jilid kitab berisi nasihat Syekh Ahmad al-Qusyasyi—ulama Madinah abad ke-17—tentang frekuensi dzikr yang harus dibaca seorang salik.
Bonjol, dengan demikian, bukan hanya pejuang senjata, tetapi juga pejuang batin. Ia berdiri di batas antara tasawuf dan politik, antara jihad dan tafakur.
Baca juga: Ketika Jihad Menyala: Diponegoro dan Perang Suci yang Terlupakan Kekalahan dan Warisan SpiritualitasKekalahan Imam Bonjol pada 1837 menandai akhir perang, tetapi bukan akhir gagasan. Belanda mengasingkannya ke Manado, lalu ke Minahasa, hingga meninggal di Lota pada 1864. Di sana, di ujung perantauan, Bonjol disebut masih memimpin zikir bersama para pengikutnya.
Azyumardi Azra, dalam
Islam Nusantara: Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII–XVIII (Prenada Media, 2013), melihat periode ini sebagai “peralihan dari otoritas tarekat ke otoritas ulama.” Para murid Da’ud, Isma‘il al-Minangkabawi, hingga jaringan ulama Cangking dan Trumon menjadi cikal bakal lahirnya kelas menengah muslim yang kritis terhadap kolonialisme dan terbuka terhadap modernitas.
Martin van Bruinessen menambahkan dalam
Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Mizan, 1994): “Naqsyabandiyah di Minangkabau menjadi jembatan antara dunia lama sufistik dan dunia baru Islam rasional yang kelak diwakili gerakan pembaruan abad ke-20.”
Dari Bonjol ke Reformasi Islam ModernSejarah Padri dan jaringan murid Syekh Da’ud menunjukkan bahwa Islam Indonesia tidak pernah statis. Ia selalu bertransformasi melalui konflik, dialog, dan pembaruan. Apa yang dimulai sebagai perlawanan terhadap adat dan kolonialisme berubah menjadi proses panjang pembentukan ruang muslim yang lebih luas—sebuah ruang sosial, intelektual, dan politik.
Dalam tafsir Laffan, inilah awal dari “publik muslim” Indonesia: ketika iman tidak lagi hanya urusan istana dan ulama, tapi menjadi bagian dari wacana sosial yang hidup di surau, pasar, dan sekolah.
Baca juga: Fadli Zon Resmikan Pameran NYALA di Galeri Nasional, Angkat Warisan Perjuangan Diponegoro Dari Imam Bonjol hingga Ahmad Dahlan, dari dzikir Naqsyabandiyah hingga madrasah modern, garis sejarah itu tetap berlanjut—menunjukkan bahwa reformasi Islam di Nusantara bukan sekadar upaya pemurnian, melainkan pencarian terus-menerus akan keseimbangan antara ortodoksi dan kebangsaan, antara Mekah dan tanah air. (*)
(mif)