Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Sabtu, 11 Oktober 2025
home masjid detail berita

Para Guru di Tanah yang Resah: Wali Baru di Zaman Kolonial

miftah yusufpati Jum'at, 10 Oktober 2025 - 16:00 WIB
Para Guru di Tanah yang Resah:  Wali Baru di Zaman Kolonial
Para ulama Jawa tak sekadar meniru Islam Timur Tengah. Mereka mengolahnya jadi laku spiritual pribumimenjadikan Islam tetap milik Mekah, tapi juga milik Jawa.(AI)
LANGIT7.ID-Di Jawa abad ke-19, Islam tak pernah sunyi dari riak-riak persaingan tarekat. Ketika arus gagasan dan ritual mistik mengalir dari Mekah dan Sumatra, para ulama Jawa menafsirkannya dengan gaya sendiri. Bagi mereka, jalan menuju Tuhan tak harus satu, tetapi medan persaingannya nyata, yakni antara Syattariyyah, Naqsyabandiyyah, dan kelompok lokal yang berakar pada tradisi Wali Sanga.

Sejarawan Michael Laffan, dalam bukunya The Makings of Indonesian Islam (2011), menyebut masa itu sebagai periode ketika “para guru lokal memadukan Islam global dengan laku spiritual pribumi.” Dalam catatan Snouck Hurgronje sekitar 1890, banyak tokoh Naqsyabandi Jawa awalnya adalah penganut Syattariyyah sebelum melakukan perjalanan ke luar negeri. Namun, sekembalinya dari Mekah, mereka tak segan mengajarkan ritual-ritual Khalidiyyah—varian Naqsyabandiyyah dari Kurdi—bersama amalan Syattariyyah.

Model sinkretik semacam itu, tulis Laffan, menjadikan Jawa berbeda dari Sumatra, di mana “proto-Naqsyabandi” cenderung lebih eksklusif terhadap tarekat lain. Para syekh di Jawa, sebaliknya, bergerak lentur di antara dua arus: mistik Timur Tengah dan tradisi kejawen yang sudah berabad-abad mengakar.

Ketegangan dari Kedu

Di pertengahan abad ke-19, peta pengaruh Islam di Jawa Tengah kian kompleks. Nama Kiai Hasan Mawlani, atau yang lebih dikenal sebagai Kiai Lengkong, muncul sebagai guru karismatik dengan ribuan santri. Pesantrennya di Kedu, Kuningan, menjadi magnet bagi kalangan muda Jawa, termasuk putra-putra priyayi dari Surabaya.

Namun, metode ajarnya keras. Dalam catatan Jan Isaäc van Sevenhoven (1839), para murid Kiai Lengkong diajarkan hidup asketis: makan dan tidur hanya sekadar bertahan hidup, membaca teks dalam posisi tengkurap, berlama-lama di ruang gelap dengan cahaya menembus lubang-lubang kecil dinding pesantren.

Disiplin keras itu dianggap bentuk “tazkiyah” —penyucian diri—tetapi bagi penguasa kolonial Belanda, praktik semacam itu mencurigakan. Ketika pengaruh Lengkong meluas hingga kalangan bangsawan muda, para guru pesaing dan pejabat Hindia Belanda mulai gelisah. Laporan resmi menyebutnya “ancaman baru bagi negara.” Tahun 1842, ia ditangkap dan dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara.

“Nasibnya,” tulis Laffan, “seperti yang diramalkan para pengamat Belanda bagi siapa pun yang membawa agama ke ranah politik.”

Mas Rahmat dan Bayang-Bayang Akmaliyyah

Persaingan tak berhenti di pesantren Kedu. Di akhir abad ke-19, muncul figur lain: Mas Rahmat, seorang bangsawan kaya yang mengaku pengikut tarekat Akmaliyyah, cabang mistik yang oleh sebagian disebut “Tarek Moehamaddia”.

Dalam laporan yang dikutip Laffan, Rahmat mengaku ayahnya sahabat Pangeran Diponegoro. Ia bergerak leluasa di wilayah perdikan Jawa dan Madura, bergaul dengan kaum priyayi yang tak puas terhadap kekuasaan kolonial. Namun, meski disegani, klaimnya banyak diragukan.

“Sulit mempercayai bahwa cendekiawan Madura memintanya menafsirkan kitab Bayan al-Sirr atau Tuhfa,” tulis Laffan, “karena kalangan itu dikenal sebagai ahli tata bahasa terbaik di Nusantara.”

Rahmat dianggap kaya baru yang haus pengaruh, belum menunaikan haji—sebuah syarat penting untuk dianggap “alim sejati” di mata masyarakat pesantren. Di sinilah tampak lapisan sosial Islam Jawa: antara ulama tarekat, elite priyayi, dan ulama haji yang berlomba memegang otoritas moral dan spiritual.

Bentang Islam Lokal

Bagi Laffan, benturan antar-tarekat itu tak bisa dilihat sekadar konflik teologis. Ia mencerminkan dinamika lokal Islam Nusantara—di mana otoritas keagamaan, jejaring sosial, dan legitimasi politik saling berkelindan.

Sebagaimana dicatat Ahmad Rifa‘i pada 1850-an—yang oleh Belanda disebut pengikut Naqsyabandiyyah—perbedaan tak selalu tegang, tapi sering bergantung pada hubungan pribadi dan konteks lokal. “Islam Jawa tidak berjalan dalam garis lurus,” tulis Laffan, “melainkan berlapis-lapis, penuh negosiasi antara mistik, adat, dan kekuasaan.”

Bagi pemerintah kolonial, semua itu tampak berbahaya. Namun bagi masyarakat, itulah ekspresi Islam yang hidup: cair, berakar, dan terus menegosiasikan makna keimanan di tanah yang jauh dari Mekah.

Warisan Para Pesaing

Kini, nama-nama seperti Kiai Lengkong, Ahmad Rifa‘i, dan Mas Rahmat mungkin terlupakan di luar kalangan akademik. Namun, sejarah mereka adalah cermin dari pergulatan panjang Islam Indonesia: antara kesalehan dan kekuasaan, antara global dan lokal.

Dari para pesaing lokal itu, lahir satu pelajaran penting: Islam di Nusantara tumbuh bukan karena keseragaman, melainkan karena kemampuannya menyerap, mengolah, dan menafsirkan perbedaan menjadi kekuatan spiritual baru.

Atau, seperti disimpulkan Michael Laffan: “Di tangan para ulama lokal, Islam menjadi milik Jawa tanpa kehilangan Mekkah-nya.”

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Sabtu 11 Oktober 2025
Imsak
04:08
Shubuh
04:18
Dhuhur
11:43
Ashar
14:45
Maghrib
17:49
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan