LANGIT7.ID-Di tepi Laut Makassar, seorang tua berwajah teduh menatap ke barat. Rambutnya memutih, jubahnya lusuh. Di pengasingan, Pangeran Diponegoro menulis catatan panjang tentang doa, perang, dan penyesalan. Ia tidak lagi memimpin ribuan pengikut, melainkan berdialog dengan Tuhan lewat tinta dan zikir.
Dalam buku hariannya yang kini tersimpan di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), Leiden, tercatat bait-bait doa yang menyinggung ajaran Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah—dua tarekat besar yang membentuk spiritualitas Islam Jawa abad ke-19. Michael Laffan (2015) menulis, “Kita tidak boleh berasumsi bahwa jihad adalah monopoli Wahhabi… catatan Diponegoro menunjukkan kedekatan dengan ajaran sufi.”
Diponegoro bukan sekadar pangeran pemberontak. Ia adalah simbol dari pertemuan pelik antara mistisisme Islam dan perlawanan politik terhadap kolonialisme.
Jantung Islam yang BergolakKetika Perang Padri berkecamuk di Sumatra Barat, Jawa pun bergolak. Tahun 1825, Pangeran Diponegoro—putra Sultan Hamengkubuwono III—mengangkat panji jihad melawan Belanda dan istana Yogyakarta yang telah tunduk pada kekuasaan kolonial.
Laffan menggambarkan konteks sosialnya: “Setelah Perjanjian Giyanti 1755, pedesaan Jawa relatif damai. Populasi tumbuh, pendidikan meningkat, dan para guru agama mendambakan status perdikan.” Namun harmoni itu pecah ketika sistem pajak pertanian dan intervensi Belanda menekan masyarakat.
“Diponegoro mempersonifikasikan kegelisahan moral orang Jawa terhadap ketidakadilan kolonial,” tulis Peter Carey dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855 (Leiden: KITLV Press, 2011). “Ia melihat tanah leluhurnya dicemari kekuasaan asing dan istana yang korup.”
Di balik perlawanan itu, mengalir semangat spiritual yang dalam. Diponegoro dikenal saleh sejak muda. Ia gemar menyepi di Tegalrejo, sering berziarah ke Imogiri, dan mengaku mendapat petunjuk gaib dari Sunan Kalijaga. Seperti disebut Laffan, “Pangeran Diponegoro adalah murid seorang sufi awal, Kiai Taftayani, yang mungkin berasal dari Sumatra.”
Kiai Mojo dan Jaringan SantriPerang Jawa bukan hanya perang istana. Ia adalah jihad yang menautkan jaringan santri, kiai, dan masyarakat perdikan. Tokoh sentral di lingkaran spiritual Diponegoro adalah Kiai Mojo (1792–1849), guru spiritual sekaligus penasihat perang.
Dalam banyak babad dan sumber Belanda, Kiai Mojo disebut sebagai “imam jihad”. Ia memimpin barisan santri dari Pajang, Wonogiri, dan Madiun. Ribuan pengikut mengenakan ikat kepala putih—lambang “orang putihan”, kaum muslim saleh yang menggabungkan ibadah dan perjuangan.
Namun, seperti dicatat Laffan, persekutuan itu mulai retak setelah kemenangan awal. Pada 1828, Kiai Mojo tertangkap dan diasingkan ke Manado. “Kiai Mojo kecewa,” tulis Laffan, “karena Diponegoro lebih tertarik mendirikan negara ketimbang menegakkan syariat.”
Meski begitu, ajaran mereka meninggalkan jejak dalam jaringan Islam pedesaan. Merle C. Ricklefs dalam Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries (NUS Press, 2007) menilai bahwa Diponegoro adalah perwujudan “sintesis mistis”. Perpaduan antara kejawen dan tasawuf ortodoks yang khas Jawa.
Mistisisme dan KekalahanKetika pertempuran demi pertempuran dimenangkan, Diponegoro meyakini Tuhan berpihak padanya. Namun pada puncak ekstasi spiritual itu, ia juga merasakan keraguan. Dalam catatannya, seperti dikutip Laffan, Diponegoro menulis tentang “kelalaian memberi penghormatan kepada kehadiran Ilahiah”—sebuah momen introspektif di tengah perang.
Ekstasi mistik ini mengiringi jalan kekalahannya. Setelah Kiai Mojo ditangkap, pasukan Diponegoro melemah. Pada 1830, ia menyerah di Magelang di bawah tipu daya De Kock. Ia lalu diasingkan ke Makassar, tempat ia wafat 25 tahun kemudian.
Laffan menyebut kekalahan itu sebagai simbol berakhirnya fase “politik Islam istana”. “Kekalahan Diponegoro membuat kerajaan di Jawa Tengah semakin terikat pada Belanda dan menjauh dari pengaruh Islam eksplisit.”
Peter Carey menulis lebih getir: “Sebuah era dalam sejarah Jawa ditutup. Eropa menggantikan Arabi sebagai kekuatan asing dominan.”
Namun di balik kekalahan itu, muncul bentuk baru keberislaman Jawa, yang tak lagi berpusat di istana, melainkan di pesantren, langgar, dan rumah-rumah kiai.
Warisan: Dari Jihad ke Ruang Publik MuslimApa yang tersisa dari jihad Diponegoro? Bukan hanya kisah heroik, tetapi juga transformasi sosial yang panjang.
Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680 (Yale University Press, 2010) mencatat bahwa jaringan ulama yang dulu terlibat dalam perang, seperti pengikut Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah, terus membangun jejaring pendidikan di pedesaan. Dari mereka lahir sistem pesantren modern dan tradisi dakwah yang kelak mewarnai gerakan Islam abad ke-20.
Laffan menulis bahwa pasca-Perang Jawa, para kiai “melanjutkan dialog dengan Mekah tanpa merujuk kepada para sultan.” Dengan kata lain, otoritas agama beralih dari istana ke ulama, dari simbol ke masyarakat.
Inilah awal terbentuknya ruang publik muslim di Jawa—sebuah ruang religius yang hidup, otonom, dan lintas kelas sosial.
Kepada Zaman BaruKini, hampir dua abad setelah perang berakhir, nama Diponegoro kembali bergema: di buku sejarah, patung perunggu, hingga nama universitas. Namun yang paling abadi bukan pedangnya, melainkan warisan spiritual dan intelektualnya.
Ia menulis doa-doa, bukan fatwa; memimpin perang, tetapi mengakhirinya dengan zikir. Dalam dirinya, jihad dan tasawuf berpadu menjadi metafora paling kuat tentang bagaimana Islam di Nusantara selalu tumbuh dari ketegangan antara dunia batin dan dunia nyata.
(mif)