Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Sabtu, 11 Oktober 2025
home masjid detail berita

Wajah Islam di Nusantara: Ketika Haji Menjadi Jalan Ilmu

miftah yusufpati Sabtu, 11 Oktober 2025 - 04:15 WIB
Wajah Islam di Nusantara: Ketika Haji Menjadi Jalan Ilmu
Pada abad ke-19, Mekah bukan hanya tempat beribadah, tapi juga ruang belajar dan jaringan intelektual yang mengubah wajah Islam di Nusantara. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Mekah, abad ke-19. Di antara para peziarah yang berdesakan di pelataran Masjidil Haram, ada wajah-wajah dari Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Mereka datang bukan hanya untuk menunaikan ibadah haji, tetapi juga mencari ilmu. Dari Tanah Suci itulah, arah Islam Nusantara mulai berubah.

Dalam The Makings of Indonesian Islam (Princeton University Press, 2011), sejarawan Michael Laffan menggambarkan Mekah sebagai “pusat gravitasi” baru bagi dunia Islam Asia Tenggara. Di tengah meluasnya transportasi kapal uap dan terbukanya jalur laut ke Hijaz, jumlah peziarah dari Hindia Belanda meningkat tajam. Namun bagi sebagian mereka, ziarah bukan akhir perjalanan, melainkan awal dari laku intelektual.

“Sedikit orang setia menuju Kairo pada tahun-tahun itu—pusat yang penting tetaplah Mekah,” tulis Laffan. Para pelajar yang menetap bertahun-tahun di sana menjadi sosok yang disegani ketika pulang ke tanah air. Mereka fasih berbahasa Arab, memahami hukum Islam, dan membawa semangat pembaruan dari dunia Islam global.

Salah satunya Nawawi al-Bantani, yang lahir di Tanara, Banten, dan kemudian dikenal sebagai salah satu ulama besar Mekah. Di masa yang sama, Ahmad al-Fatani dari Kelantan menjadi penghubung antara dunia Melayu dan Hijaz. Di tangan mereka, Islam Nusantara mulai merajut dirinya dengan tradisi ilmu Timur Tengah.

Ketika mereka pulang, semangat itu menemukan bentuk baru. Pesantren-pesantren di Jawa, Madura, dan Sumbawa tumbuh pesat, diperkaya oleh kehadiran ahli tata bahasa, fikih, dan syair dari berbagai daerah. Di tempat-tempat seperti Banten, Ciomas, hingga Madura, ajaran tasawuf Naqsyabandiyyah dan Qadiriyyah menyebar cepat, menandai babak baru jaringan ulama Nusantara.

Namun, perjalanan ke Tanah Suci tak selalu dimaknai suci. Dalam puisi satir yang ditulis pada 1867, Raden Muhammad Husayn dari Krawang menertawakan para bangsawan “Sunda dan Jawa” yang berbondong-bondong berhaji demi status sosial. Ia memperingatkan bahaya rampok di jalan, bahkan risiko menjadi kuli di Singapura atau Malabar. “Jika kembali,” tulisnya sinis, “pelajarilah agama—jangan bertingkah seperti guru bagi seluruh negeri.”

Kritik itu menunjukkan satu hal: haji telah menjadi penanda sosial baru di tengah masyarakat kolonial. “Tampak bahwa haji menempatkan diri seseorang di atas rekan-rekan mereka,” catat Laffan. Gelar haji bukan sekadar spiritual, melainkan juga simbol mobilitas dan otoritas. Dari gelar itu lahir figur-figur baru: guru tarekat, pendiri pesantren, atau bahkan perintis perlawanan.

Dari Singapura—yang kala itu menjadi simpul penting antara dunia Melayu dan Timur Tengah—para pengikut tarekat juga membangun jaringan yang menembus batas politik kolonial. Ahmad Khatib dari Sambas, misalnya, memadukan ritual Naqsyabandiyyah dan Qadiriyyah, dan mengirim wakil-wakilnya ke Sumatra, Jawa, hingga Lombok. Setelah wafat pada 1872, kepemimpinannya diteruskan oleh muridnya di Banten, Abdul Karim, yang berhasil mengumpulkan ribuan murid di Jawa Barat dan Madura.

Pada akhir abad ke-19, Belanda mencatat bahwa hanya di kawasan Batavia, Tangerang, dan Buitenzorg sudah berdiri 38 pesantren. Separuh di antaranya mengajarkan Sufisme. Seorang guru di Buitenzorg, Abdul Rahim al-Asy‘ari, bahkan mengaku memiliki enam ribu murid—angka yang menunjukkan betapa cepat jaringan keislaman tumbuh di bawah panji para haji.

Laffan menulis bahwa para ulama Jawi ini bukan hanya pembawa ilmu, melainkan juga pembawa wacana. Hubungan mereka dengan Timur Tengah menciptakan ketegangan di mata pemerintah kolonial: di satu sisi dianggap pembaharu, di sisi lain ditakuti sebagai penggerak kebangkitan Islam.

Haji, dalam pengertian ini, melampaui ritual. Ia menjadi simbol koneksi global umat Islam, sekaligus sumber ketegangan politik lokal. Dari Mekah mengalir gagasan baru tentang otoritas, pendidikan, dan reformasi. Dari perjalanan suci lahirlah transformasi sosial.

Hari ini, gelar haji mungkin terdengar akrab di telinga. Namun, di abad ke-19, ia adalah tanda peralihan—dari kesalehan individual menuju kesadaran kolektif umat. Di tengah gelombang modernitas dan kolonialisme, para haji menjadi jembatan antara dunia Islam dan Nusantara, antara ibadah dan ilmu.

Seperti yang ditulis Michael Laffan, “Hubungan baru dan lebih intensif dengan Mekah ini merajut beragam sekolah Islam di kawasan ini menjadi lebih erat.” Maka, setiap jamaah yang kembali dari Tanah Suci membawa bukan hanya kisah ibadah, tapi juga benih perubahan yang pelan-pelan menumbuhkan wajah baru Islam di Indonesia.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Sabtu 11 Oktober 2025
Imsak
04:08
Shubuh
04:18
Dhuhur
11:43
Ashar
14:45
Maghrib
17:49
Isya
18:58
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ
Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.
QS. Al-Ikhlas:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan