Islam menempatkan ilmu sebagai fondasi iman dan peradaban. Wahyu pertama Iqra membuka jalan lahirnya ulama sekaligus ilmuwan, dari masjid hingga laboratorium, tanpa pertentangan akal dan wahyu.
Bimas Islam Kemenag ungkap 34,6 juta pernikahan di Indonesia tidak tercatat negara. Abu Rokhmad dorong pencatatan nikah resmi demi lindungi hak istri dan anak.
Modernitas menantang, tapi Islam lahir dengan nilai yang lentur: dialog, ilmu, dan keseimbangan. Masalahnya bukan pada ajaran, melainkan pada cara umat memahaminya.
Nama Islam sendiri sudah mengandung pesan damai. Namun, mengapa agama yang mengajarkan salam justru kerap dikaitkan dengan konflik? Jejak ajaran dan sejarahnya mengungkap perspektif yang lebih luas.
Teknologi dan AI memberi jawaban cepat, tapi tak mampu menenangkan jiwa. Di tengah krisis makna dan kesepian digital, agama tetap menjadi pelampung yang tak tergantikan sepanjang zaman.
Dari perlindungan Raja Nasrani di Ethiopia hingga kekecewaan Yahudi Madinah, perjumpaan Islam dengan Ahl al-Kitab membuka babak baru relasi iman dan politik.
Indonesia sering dipuji sebagai negara Muslim demokratis. Tapi dari bilik pemilu hingga mimbar dakwah, tafsir keagamaan terus diuji oleh godaan politik identitas.
Kaum Muslimin meniru Barat untuk maju, tapi kehilangan jiwanya sendiri. Apakah kita mengulang kesalahan peradaban yang runtuh, atau menemukan jalan agar ilmu modern tak menggerus iman?
Di balik riuh perang kolonial, dakwah Islam di Nusantara bukan sekadar ibadah, tetapi bara perlawanan yang menyatukan umat, menguatkan iman, dan menyalakan api kemerdekaan.
Sejarah memperlihatkan beragam warnahitam, putih, hijaubergiliran mengibarkan panji kekuasaan umat Islam. Tafsir tunggal justru mengabaikan pluralitas simbol yang kaya makna.
Islam Jawa, tulis Geertz, berkelindan dengan tradisi Hindu-Buddha, mistisisme lokal, hingga etika pertanian masyarakat desa. Dari situlah lahir tiga tipologi yang ia sebut santri, priyayi, dan abangan.
Di Yunani, pusat filsafat yang sering dipuja Barat, perempuan justru terpinggirkan. Di istana-istana, para wanita elite disekap. Di kalangan bawah, lebih menyedihkan: mereka diperlakukan sebagai barang dagangan.