Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 23 Oktober 2025
home masjid detail berita

Islam di Simpang Jalan: Ancaman dari Pendidikan yang Membarat

miftah yusufpati Selasa, 26 Agustus 2025 - 16:00 WIB
Islam di Simpang Jalan: Ancaman dari Pendidikan yang Membarat
Jangan sampai meniru mode hidup Barat mengikis jiwa Islam, karena meniru lahiriah akan menyeret pandangan batin. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Pertanyaan ini menggelitik dunia Islam sejak seabad lalu: mungkinkah membangun kemajuan tanpa menukar ruh kebudayaan sendiri? Jawaban panjang tersaji dalam buku klasik Islam di Simpang Jalan (1935) karya Muhammad Asad, seorang pemikir Muslim asal Austria.

Asad mengingatkan, selama kaum Muslimin memandang peradaban Barat sebagai satu-satunya jalan regenerasi, mereka sebenarnya sedang meruntuhkan kepercayaan diri. “Kita tanpa sadar memperkuat klaim Barat bahwa Islam hanyalah kekuatan yang telah habis dikerahkan,” tulisnya (Islam di Simpang Jalan, Pustaka, 1981).

Peringatan ini terasa relevan hingga kini. Modernisasi memang menggoda, tapi harga yang dibayar bisa mahal: hilangnya fondasi spiritual. Asad menyoroti pola pendidikan Barat yang ditelan mentah-mentah di negeri Muslim. Ia bukan menolak sains, tetapi mengkritik jiwa di baliknya: semangat materialisme yang dingin terhadap agama.

Baca juga: Arab Saudi Semakin Liberal Impor Budaya Barat, Ini Alasannya

Mengapa Kita Membarat?

“Apakah mungkin pendidikan Barat tidak memengaruhi jiwa Islam?” tanya Asad. Ia menjawab tegas: tidak mungkin. Sistem itu dibangun di atas pengalaman kultural Eropa yang anti-agama. “Efeknya, generasi muda Islam membuang kepercayaan pada risalah Nabi dan kehilangan kebanggaan kulturalnya,” ujarnya.

Dampaknya tampak jelas: kaum terdidik yang dibaratkan kerap menjauh dari agama, bukan karena dalil ilmiah yang menentang, melainkan karena suasana intelektual Barat menekan nilai religius. Kepercayaan, kata Asad, bukan sekadar soal argumentasi logis, melainkan produk lingkungan budaya.

Ia mengutip sabda Nabi Muhammad: “Setiap anak dilahirkan dalam kesucian asli; orang tuanyalah yang membuat dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR Bukhari). “Orang tua” di sini, kata Asad, bisa berarti keluarga, sekolah, dan masyarakat—seluruh ekosistem yang membentuk pola pikir.

Asad buru-buru meluruskan tuduhan klasik: Islam bukan musuh ilmu pengetahuan. Justru Al-Qur’an penuh dorongan berpikir. Ia mengutip ayat: “Dan Ia mengajarkan Adam segala nama” (QS Al-Baqarah [2]:31) sebagai simbol kemampuan definisi, basis peradaban manusia.

Sejarah pun jadi saksi. Pada masa Umayyah, Abbasiyah, hingga Andalusia, Islam memimpin capaian ilmiah yang menginspirasi Eropa. “Tak ada agama yang memberi dorongan intelektual setinggi Islam,” tulis Asad.

Masalahnya bukan pada ilmu, tapi pada cara kita mengonsumsinya. Barat datang bukan sekadar membawa teknologi, melainkan membawa filsafat hidup. “Jika kita belajar sains ala Barat tanpa filter, kita akan melihat dunia dengan mata Barat,” katanya.

Baca juga: Islam di Simpang Jalan: Warisan Kebencian yang Panjang

Bahaya Tersembunyi dalam Buku Pelajaran

Bahaya itu merayap lewat pendidikan. Dari kurikulum filsafat hingga sastra, kata Asad, pola ajarnya condong mengagungkan Barat. Interpretasi sejarah dunia pun bias, membingkai Eropa sebagai puncak peradaban dan Timur sekadar pelengkap.

“Hasilnya, pemuda Muslim kehilangan rasa harga diri. Mereka diyakinkan bahwa masa depan hanya mungkin bila diserahkan kepada ideal Barat,” tulisnya.

Asad menawarkan langkah: revisi radikal kurikulum sejarah dan sastra di sekolah Muslim. Sastra Islam harus diberi ruang untuk menanam kebanggaan, bukan inferioritas. “Jika tidak, generasi muda akan terus hidup dalam arus bawah kebencian terhadap Islam,” ujarnya.

Apa yang harus diambil dari Barat? "Hanya satu," kata Asad: "ilmu pengetahuan murni dan teknik terapan, bukan filsafat materialistik yang mengiringinya."

“Pengetahuan itu universal—bukan Barat, bukan Timur. Tapi interpretasinya bisa materialistik atau spiritual,” tulisnya, sembari mengutip Kant yang mengakui subjektivitas manusia dalam membaca alam.

Asad mengusulkan dewan pendidikan ideal yang membersihkan pengaruh filosofis Barat sejak akar. Kesusastraan Eropa boleh diajarkan, tapi secara kritis, bukan pemujaan buta. “Dan yang terpenting, ilmu eksakta harus diajarkan tanpa membawa jiwa peradaban Barat,” katanya.

Baca juga: Angkat Budaya Islam Turki, Zaskia dan Shireen Sungkar Rilis Koleksi Baju Lebaran

Simbol Peringatan untuk Kini

Gagasan yang lahir hampir seabad lalu ini seperti alarm yang kembali berbunyi. Di era globalisasi, teknologi Barat memang kita nikmati—dari algoritme media sosial hingga mesin kecerdasan buatan. Tapi, kata Asad, jangan sampai “meniru mode hidup Barat” mengikis jiwa Islam, karena meniru lahiriah akan menyeret pandangan batin.

Asad menutup pesannya dengan nada waspada: “Kalau kita ingin mempertahankan realitas Islam sebagai faktor kultural, kita harus waspada terhadap suasana intelektual Barat yang kini menaklukkan kita.”

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 23 Oktober 2025
Imsak
04:02
Shubuh
04:12
Dhuhur
11:41
Ashar
14:51
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan