Dari batu litograf di pelabuhan Singapura abad ke-19, ajaran sufi bertransformasi menjadi teks tercetak. Di tangan para ulama Jawi, mesin cetak menjelma menjadi alat dakwah dan tanda lahirnya modernitas Islam.
Di langgar kecil, seorang murid Jawi memulai hafalan. Tapi dari huruf-huruf itu, lahirlah dunia luas: Islam yang menautkan akal, dzikir, dan pencarian makna antara syariah dan hakikat.
Ia disebut wali yang melampaui agama, menolak ritual, dan menantang tatanan. Tiga abad kemudian, ajarannya masih menggema: tentang manusia, Tuhan, dan batas-batas yang terus dinegosiasikan.
Pesantren bukan warisan Arab, tapi hasil perjumpaan tarekat Syattariyyah, patronase keraton, dan semangat rakyat desa menuntut ilmu di luar istana. Dari situ lahir wajah Islam Jawa yang khas.
Abad ke-18 menandai lahirnya pesantren: dari serambi masjid di bawah patronase raja, menjadi pondok independen tempat tarekat dan ilmu bertemu dalam satu ruang spiritual yang membumi.
Di Kajen, nama Mutamakkin bukan sekadar sejarah. Ia hidup di napas masyarakat: dalam doa, ritual, dan tutur rakyat. Tiga abad berlalu, ajarannya tetap menjadi jembatan antara syariat dan hakikat.
Sufisme bukan sekadar jalan batin di Jawa abad ke-18. Ia menjelma kekuatan politik yang memicu pengasingan, pemberontakan, dan kejatuhan Pakubuwana II ke pelukan Belanda.
Dari laporan pendeta Prancis abad ke-17, tampak jejak sufi Makassar yang menautkan tradisi lokal dan Timur Tengah. Dari masjid batu hingga tarekat Khalwatiyyah, Islam Nusantara menemukan bentuknya.
Jauh sebelum Pavlov, Al-Ghazali sudah mengurai pengondisian dan fanatisme. Kritiknya atas indoktrinasi terasa segar di tengah riuh opini massal hari ini.
Dianggap ikon Salafi, Ibnu Taimiyah juga memuji para sufi dan menulis tentang tasawuf. Warisannya hidup, penuh paradoks, dari Damaskus hingga Nusantara.
Dari Abu Hanifah hingga Al-Ghazali, para imam besar menegaskan: fikih tanpa tasawuf kering, tasawuf tanpa fikih sesat. Jejak itu kini hidup lagi dalam perdebatan NU, Muhammadiyah, Salafi, hingga MUI.
Dari Ganja ke dunia, Nizami Ganjavi lewat Treasury of Mysteries menorehkan satir atas kuasa, moral, dan rakyat. Delapan abad berlalu, puisinya tetap jadi cermin kekuasaan.
Hatim ath-Tha?i, bangsawan Badui abad keenam, dikenang bukan karena pedang, tapi kedermawanan tanpa batas. Dari Jazirah Arab, namanya menjelma mitos lintas budaya hingga kini.