LANGIT7.ID-Di antara lembar-lembar tua arsip kolonial Belanda, terselip surat seorang orientalis kepada sahabatnya di Eropa. “Saya yakin akan adanya kompromi antara Islam dan humanisme di Indonesië,” tulis Christiaan Snouck Hurgronje kepada Theodor Nöldeke pada 1909. Keyakinan itu muncul setelah bertahun-tahun ia hidup di tengah masyarakat Aceh dan Jawa, menyaksikan bagaimana Islam, sufisme, dan modernitas bernegosiasi dalam ruang yang sama.
Dalam
Sejarah Islam di Nusantara, Michael Laffan (2015) membaca ulang warisan Snouck dengan hati-hati. Ia menelusuri bagaimana pengetahuan kolonial justru memantulkan denyut perubahan keagamaan di Hindia: dari dominasi tarekat Sufi menuju geliat reformisme awal abad ke-20. “Snouck bukan sekadar pengamat,” tulis Laffan, “ia pembentuk arah wacana Islam kolonial, sengaja atau tidak.”
Di sekitar 1905–1911, dua ulama besar asal Jawi—Ahmad al-Fatani dan Ahmad Khatib al-Minangkabawi—menjadi simpul penting perdebatan tentang arah Sufisme.
Ahmad al-Fatani, ulama asal Patani yang lama bermukim di Mekah, menulis fatwa moderat tentang tarekat Ahmadiyyah. Ia menolak ekstremisme, namun tetap menegaskan nilai spiritual pengalaman batin. Dalam pandangannya, jalan makrifat tak boleh lepas dari hukum syariat. Fatwanya, seperti dicatat Laffan, “mewakili warisan Sufi yang terbuka terhadap pembaruan.”
Namun, Ahmad Khatib al-Minangkabawi—imam Mazhab Syafi‘i di Masjidil Haram dan guru bagi banyak ulama Nusantara—mengambil posisi berbeda. Dalam risalah
Izhar Zaghl al-Kadhibin (1906), ia mengecam praktik tarekat yang dianggapnya menyimpang dan “menjual agama demi dunia.” Ia menyerang keras para syekh Khalidiyyah di Sumatra Barat yang dianggap menyimpang dari ajaran Nabi.
Konflik intelektual itu menyebar cepat lewat media cetak baru di Padang dan Singapura. Sebagaimana dicatat cendekiawan muslim Azyumardi Azra dalam
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII–XVIII (Kencana, 2013), perdebatan ini menandai “lahirnya ruang publik Islam modern di Nusantara”—ruang di mana otoritas keagamaan diperebutkan dengan pena, bukan pedang.
Dari Zawiyah ke PercetakanPerubahan besar abad itu bukan hanya teologis, tapi juga teknologis. “Percetakan menjadi madrasah baru,” tulis Laffan. Buku, risalah, dan fatwa menggantikan pengajaran zikir dalam zawiyah. Inilah masa di mana agama menyeberang dari manuskrip ke majalah, dari pengajian ke ruang debat publik.
Anthony H. Johns, dalam tulisannya
Sufism as a Category in Indonesian Literature (1961), menegaskan bahwa semangat sufistik tidak hilang, melainkan menyesuaikan diri dengan bentuk modern. Spirit
takhalli, tahalli, tajalli—penyucian diri, pengisian kebajikan, dan pencerahan—bertransformasi menjadi etos pembaruan.
Ironisnya, benih reformisme ini tumbuh di bawah bayang-bayang kolonial. Pemerintah Belanda, lewat Snouck, justru mendorong Islam yang “terkendali” dan rasional. Tetapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Laffan dan disorot pula oleh M.C. Ricklefs dalam
Islamisation and Its Opponents in Java (NUS Press, 2012), hasilnya tak sepenuhnya bisa ditebak: Islam justru menemukan kembali vitalitasnya.
Ahmad Khatib dan murid-muridnya—termasuk Haji Agus Salim dan Ahmad Dahlan—kemudian menjadi jembatan menuju modernisme Islam awal abad ke-20. Dari situ lahir Muhammadiyah, Persis, dan gerakan pembaruan lain yang mengusung rasionalitas sebagai ruh baru, namun tetap berakar pada spiritualitas lama.
Seabad kemudian, perdebatan lama itu tetap hidup. Sufisme kembali menjadi daya tarik di tengah kekeringan spiritual modernitas, sementara gerakan reformis terus menafsirkan kembali makna “kembali ke sumber”. Mungkin benar kata Snouck dalam suratnya—bahwa kompromi antara Islam dan humanisme bukan utopia, melainkan proses sejarah yang terus berlangsung di Indonesia.
(mif)