Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Selasa, 11 November 2025
home masjid detail berita

Sejarah Islam Nusantara: Kisah Hasan Mustafa, Iblis dari Bandung

miftah yusufpati Sabtu, 01 November 2025 - 05:15 WIB
Sejarah Islam Nusantara: Kisah Hasan Mustafa, Iblis dari Bandung
Hasan Mustafa, ulama karismatik murid Snouck Hurgronje, dituding menyesatkan umatpadahal ia hanya mencoba berdamai dengan modernitas. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Bandung, 1902. Sebuah surat dari Kairo mengguncang Hindia Belanda. Dalam halaman majalah Misbah al-Sharq, seorang penulis anonim menuduh seorang qadi dari Bandung sebagai “iblis bersorban”—pengkhianat Islam yang menebar ajaran sesat dan alat kolonial untuk mengkristenkan Priangan. Nama yang disebut: Hasan Mustafa, ulama karismatik, penyair Sunda, dan—ironisnya—murid dekat Snouck Hurgronje.

“Dia menyeru kaum Muslim agar meninggalkan salat,” tulis si penuduh. “Ia menolak Hari Kiamat dan menyebarkan gagasan seleksi alam.”

Di tengah masyarakat yang tengah gelisah oleh arus modernitas dan ketakutan terhadap misi Kristenisasi, berita itu menyebar seperti api di ladang kering.

Hasan Mustafa bukan sembarang ulama. Ia pernah mendampingi Snouck Hurgronje di Aceh dan kemudian menjadi Penghulu Kepala Bandung—jabatan tinggi dalam birokrasi keagamaan kolonial. Hubungannya dengan Snouck membuatnya dicurigai sebagai agen Belanda dalam jubah Islam.

Michael Laffan, dalam Sejarah Islam di Nusantara (Mizan, 2015), mencatat bagaimana para penentangnya menulis ke Kairo, menuduh Mustafa sebagai “alat Snouck”, bahkan menyebut orientalis Belanda itu sebagai “dokter kafir yang menyamar sebagai Muslim bernama ‘Abd al-Ghaffar”.

Di mata mereka, Hasan Mustafa hanyalah kepanjangan tangan proyek besar: membumikan modernitas kolonial melalui tafsir agama.

Filsafat, Iman, dan Kecurigaan

Namun kebenaran tak sesederhana itu. Setelah masa pengabdiannya yang berat di Aceh, Hasan Mustafa memang berubah. Ia menulis dalam bahasa Sunda dengan gaya sufistik dan spekulatif—membicarakan Tuhan, makhluk, dan hakikat wujud. Bahasanya sulit, metaforis, dan sering disalahartikan.

Para sayyid Arab di Bandung gelisah. Filsafatnya dianggap menyimpang dari ortodoksi al-Ghazali, bahkan mendekati wahdatul wujud ala Ibn Arabi.

Sebuah surat balasan yang tak diterbitkan berjudul “Penolakan terhadap Iblis Bandung dengan Penegasan atas Yang Mahahidup dan Mahaabadi” memerinci tuduhan berat: Hasan Mustafa menyangkal sifat-sifat Tuhan, mengajarkan “materi hidup melalui seleksi alam”, dan menyesatkan para sufi muda.

Laffan menulis: “Tampaknya gagasan-gagasan Darwin telah dibaptis karena asosiasi.”

Dalam dunia Islam kolonial yang baru belajar bicara tentang modernitas, bahkan istilah seperti seleksi alam bisa terdengar seperti ajaran setan.

Bantahan Seorang “Iblis”

Hasan Mustafa tak tinggal diam. Ia menulis bantahan panjang—penuh sindiran dan logika tajam. Ia mengejek sang penuduh sebagai “anak muda sekolah desa” yang sombong dengan pengetahuan Baratnya, tapi miskin pemahaman rohani.

Ia juga menyoroti masalah yang lebih dalam: perpecahan budaya dalam Islam Nusantara. Dalam salah satu tulisannya, ia menyindir: “Dia berpikir bahasa Arab lebih dekat kepada Tuhan ketimbang bahasa Melayu, bahasa Melayu lebih dekat ketimbang bahasa Jawa, dan bahasa Jawa lebih dekat daripada bahasa Sunda.”

Baginya, perbedaan-perbedaan itu bukan soal aqidah, tapi soal budaya. “Orang Jawa adalah orang Jawa, dan orang Sunda adalah orang Sunda,” tulisnya. Dalam kalimat itu, tampak benih pemikiran pluralisme yang jauh melampaui zamannya.

Politik, Ulama, dan Fitnah

Snouck dan Hasan Mustafa sama-sama mencurigai satu nama di balik serangan itu: Sayyid ‘Utsman bin Yahya, penasihat keagamaan pemerintah kolonial yang juga musuh lama Snouck. Namun ketika didesak, sang sayyid menyangkal terlibat dan malah mendorong Mustafa menulis bantahan.

Tapi di luar lingkaran elite, fitnah sudah terlanjur menyebar. Surat-surat lanjutan yang lebih keras menyebut Mustafa sebagai “yang buruk, tercela, dan jahat”. Ia dibandingkan dengan ajaran Yahudi, Kristen, bahkan Majusi. Sebagian ulama menuduhnya hendak “menjadikan Islam Sunda sebagai agama Kristen baru.”

Laffan menulis, tuduhan terhadap Hasan Mustafa menunjukkan betapa dalamnya kegelisahan umat Islam Jawa terhadap modernitas dan kolonialisme. Jika di Cirebon ada Kartawidjaja, sang santri yang benar-benar berpindah ke Kristen, maka di Bandung lahirlah versi yang lebih rumit: seorang ulama yang mencoba memadukan filsafat dan iman—dan karenanya dicap iblis.

Hasan Mustafa bukan pengkhianat, tapi korban zaman yang bimbang antara dzikir dan Darwin, antara kitab kuning dan kemajuan Eropa. Bagi Snouck, ia adalah “cermin paling halus dari Islam Sunda”—tapi bagi masyarakatnya, ia tetap sosok yang menggoda batas-batas keyakinan.

Akhir Sebuah Zaman

Dari Indramayu ke Bandung, kisah Kartawidjaja dan Hasan Mustafa adalah dua sisi koin yang sama. Satu menukar Al-Quran dengan Injil, satu menafsirkan wujud Tuhan dengan bahasa filsafat. Keduanya hidup di masa ketika agama dan kolonialisme saling menatap curiga, dan modernitas menjadi medan perang baru bagi iman.

Laffan menulis penutup yang getir: “Di antara fitnah dan keinginan memahami zaman, para ulama Nusantara belajar bahwa yang paling berbahaya bukanlah murtad, melainkan berpikir di luar batas yang ditentukan.”

Dan di bawah langit Bandung yang berkabut, bayangan “iblis bersorban” itu tetap bergaung—sebagai simbol perlawanan, kesalahpahaman, dan keberanian berpikir di masa kolonial.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Selasa 11 November 2025
Imsak
03:56
Shubuh
04:06
Dhuhur
11:40
Ashar
15:00
Maghrib
17:51
Isya
19:04
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.
QS. Al-Isra':1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan