Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 30 Oktober 2025
home masjid detail berita

Nusantara di Bawah Mikroskop Leiden: Ketika Ilmu Tak Menyentuh Iman

miftah yusufpati Kamis, 30 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Nusantara di Bawah Mikroskop Leiden: Ketika Ilmu Tak Menyentuh Iman
Dari arsip Leiden hingga benteng Batavia, pengetahuan Eropa tentang Islam tumbuh tanpa empati. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Pada 1886, orientalis Snouck Hurgronje menulis bahwa pandangan Belanda tentang Islam “lebih banyak dibentuk oleh keyakinan yang masuk akal ketimbang pengetahuan historis.” Kalimat itu seperti epitaf panjang bagi tiga abad kebingungan kolonial: upaya memahami Islam tanpa benar-benar mendengar suara kaum Muslim sendiri.

Sejak abad ke-17, para ilmuwan, pendeta, dan pedagang VOC mengumpulkan ratusan manuskrip dari Hindia Timur. Mereka fasih dalam tata bahasa Melayu, tapi gagap memahami ruh Islam yang hidup di baliknya. Michael Laffan, dalam Sejarah Islam di Nusantara, mencatat: “Pengetahuan tentang bahasa merupakan satu hal, pengetahuan tentang agama adalah hal yang lain.”

Di ruang-ruang lembap Universitas Leiden, nama-nama seperti Erpenius, Voetius, hingga Leijdecker menjadi penghubung antara Eropa dan dunia Muslim Timur. Tapi jembatan itu rapuh. Gisbertus Voetius, profesor di Utrecht, menulis panduan bagi para pendeta yang hendak ke Hindia, bersandar pada buku karya mualaf Spanyol, bukan pada naskah-naskah yang dibawa pulang dari Nusantara.

Sementara itu, di Batavia, pejabat VOC seperti Isaac de Saint Martin dan orientalis Herbert de Jager mengumpulkan naskah Melayu dan Arab, mencoba menafsirkan “agama Melayu”—sebuah eufemisme untuk Islam—sebagai potensi penyebaran Protestanisme. Namun, seperti ditulis Laffan, mereka lebih tertarik pada “suara bahasa” ketimbang “suara keyakinan.”

Rumphius dan Jin dari Pulau Buru

Kisah paling menarik datang dari Georg Rumphius (1627–1702), serdadu Jerman yang jadi naturalis di Ambon. Ia menulis tentang “Djing”—jin dalam tafsir Qurani—yang dipuja orang Bima dan Buru. Dalam catatannya, Islam disamakan dengan takhayul, sementara Sunan Giri disebut “orang suci palsu.”

Namun, di balik cemoohan itu, terselip paradoks. Rumphius belajar dari istri pribuminya, dari imam dan guru kampung, dari “Pendeta Moor” yang ia sebut gurunya dalam botani. Seperti dicatat Laffan, Rumphius mungkin tak sadar bahwa pengetahuan yang ia sebut “alamiah” lahir dari kosmos Islam lokal yang ia pandang remeh.

Abad ke-17 hingga ke-18 dipenuhi nama-nama pendeta yang berambisi menjinakkan Islam dengan terjemahan Injil berbahasa Melayu.

Ada François Valentijn, yang menulis Oud en Nieuw Oost-Indiën (1724–26) sambil mengutip catatan Rumphius.
Ada pula George Henrik Werndly, penerjemah Injil dari Makassar yang menulis tata bahasa Melayu pertama bagi misionaris.

Namun, seperti diungkap Laffan, mereka “berjarak lebih jauh daripada sekadar dua busur panah dari inti pengetahuan Islam.” Bahasa Melayu dipahami sebagai alat dakwah, bukan sebagai wadah iman. Islam dilihat sebagai “agama ringan yang mudah diterima”, tanpa disadari bahwa justru kesederhanaannya yang membuatnya lestari di tanah-tanah kepulauan.

Pengetahuan yang Tak Menyentuh Jiwa

Laffan menulis getir: “Para cendekiawan ortodoks di skriptorium kolonial mungkin mendaki gunung istilah teologi Islam, sementara beberapa meter darinya seorang Muslim sedang berdoa.”

Antara kitab dan kehidupan terbentang jurang lebar. VOC mengoleksi naskah-naskah berharga, namun menutup telinga terhadap azan yang berkumandang di luar tembok benteng. Pengetahuan dijadikan alat kuasa, bukan jembatan empati.

Pada 1782, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen bahkan menawarkan hadiah 100 ducat bagi siapa pun yang bisa menjelaskan “bagaimana Islam menyebar di Nusantara.” Tapi tak satu pun orang—Muslim maupun Eropa—mengajukan karya. Seolah pengetahuan itu sendiri menyerah.

Jadi, dari Leiden hingga Batavia, dari Snouck hingga Werndly, Belanda berabad-abad mencari Islam di bawah mikroskop kolonial. Mereka mencatat, menerjemahkan, menafsirkan. Tapi, seperti ditulis Laffan, “mereka bisa menguasai tubuh Hindia, namun tidak pernah memahami jiwanya.”

Sebab pengetahuan tanpa pemahaman hanyalah arsip. Dan sejarah, seperti lontar-lontar di perpustakaan Leiden, menunggu untuk dibaca kembali—dengan empati, bukan sekadar logika.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 30 Oktober 2025
Imsak
03:59
Shubuh
04:09
Dhuhur
11:40
Ashar
14:54
Maghrib
17:49
Isya
19:00
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan