LANGIT7.ID-Pada awal 1886, Christiaan Snouck Hurgronje menulis dengan nada marah. Dari Leiden, ia menumpahkan kejengkelannya kepada para pejabat Hindia yang dianggap “tolol dan berlagak ilmiah”. Salah satu sasarannya: M.C. Piepers, anggota Mahkamah Agung Hindia, yang menyebutnya “pembuat onar yang menari bersama monyet dan gelandangan.” Snouck membalas lewat artikel tajam, menuduh kaum kolonial sebagai birokrat dungu yang tak paham dunia Islam yang ingin mereka atur.
Di balik amarah itu ada luka: penyamarannya sebagai muslim di Mekah terbongkar oleh Konsul Prancis. Rahasianya—termasuk pernikahan diam-diamnya di tanah suci—menjadi bahan ancaman diplomatik. Tapi Snouck tak mundur dari ambisinya: membangun narasi besar tentang Islam, dari sejarah kota Mekah hingga pengaruhnya bagi masa depan Hindia Belanda.
“Islam bukan hanya wahyu dan teladan Nabi,” tulisnya, seperti dikutip sejarawan Michael Laffan dalam
The Makings of Indonesian Islam (2011). “Ia adalah sistem organik—tradisi, hukum, dan mistisisme—yang tumbuh dari konsensus komunitas.”
Dengan pandangan itu, Snouck menyerang para pemikir Eropa yang ingin “mereformasi” Islam dengan cara Barat. Bagi dia, seruan “kembali ke Al-Qur’an” hanyalah ilusi. Reformasi, katanya, bukanlah menafsir ulang teks, tapi memahami realitas sosial tempat agama berakar. Ia menolak gagasan bahwa Islam bisa diremajakan lewat pembaruan hukum seperti yang digembar-gemborkan kaum modernis Mesir atau simpatisan Eropa seperti Wilfred Blunt.
Namun Snouck bukan pembela Islam. Ia memandang agama itu sebagai sistem sosial yang mesti dipahami agar bisa dikendalikan. “Semakin kita mengerti Islam,” tulisnya, “semakin bijaksana kita memerintahnya.” Pandangan itu segera menjelma strategi kolonial: mengawasi, meneliti, dan jika perlu, menekan.
Laffan mencatat, Snouck menaruh perhatian khusus pada gerakan tasawuf. Baginya, tarekat adalah ancaman tersembunyi bagi stabilitas Hindia—jaringan spiritual yang longgar, tak tunduk pada otoritas kolonial, dan mampu menyalakan bara perlawanan. Ia menyebutnya “Katolikisme Muslim”, sebuah bentuk kompromi antara ritual dan mistik yang berpotensi mengguncang tatanan kekuasaan.
Dalam pandangan Snouck, Islam sejati telah kehilangan arah—terperangkap antara hukum yang kaku dan mistisisme yang liar. Ia menganggap Sufisme sebagai jalan pelarian dari “agama yang sejati”, dan Wahhabisme sebagai reaksi kebablasan yang “memalsukan sejarah” dengan mengklaim kembali ke masa Nabi. Islam, katanya, telah menjadi “agama universal”—dan upaya memurnikannya justru akan memundurkannya.
Pandangan-pandangan ini, seperti ditulis Laffan, bukan sekadar wacana akademik. Ia menjadi fondasi kebijakan kolonial Belanda terhadap Islam di Nusantara: mengawasi haji, mengatur pesantren, dan menilai umat Islam dari kaca mata etnografi dan filologi. Dari sini, lahirlah “Islam yang dapat diatur”—sebuah proyek besar yang akan bergaung sepanjang abad ke-20.
Snouck menyebut dirinya ilmuwan. Tapi di Hindia, ilmunya menjadi senjata.
(mif)