LANGIT7.ID-Di ruang arsip Universitas Leiden, Belanda, tersimpan setumpuk naskah berdebu yang diam-diam merekam denyut awal hubungan rumit antara Islam dan kolonialisme. Salah satunya berlabel Or. 7935—sekumpulan dokumen yang pernah bersentuhan dengan tangan seorang orientalis paling berpengaruh dalam sejarah Hindia Belanda: Christiaan Snouck Hurgronje.
Di dalamnya terselip dua dokumen yang berbeda nasib dan zaman. Satu, sebuah risalah tarekat Qadiriyyah yang dikumpulkan di Aceh, lengkap dengan silsilah rohani yang menelusuri garis dari Syekh Ibrahim al-Kurani hingga Nabi Muhammad. Dokumen itu diyakini diambil dari tangan ulama yang berperang melawan Belanda. Yang satu lagi, surat dari seorang sarjana Mesir modernis, Ustaz Mansur Fahmi, tertanggal 28 Juli 1925. Di sana, Fahmi menulis dengan hormat kepada Snouck, memuji pengaruh dan nasihatnya dalam upaya reformasi Islam di Kairo.
Dua teks itu, kata Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara, memperlihatkan jembatan ganjil yang dibangun Snouck antara dua dunia Muslim: dunia jihad antikolonial di Aceh dan dunia pembaharu intelektual di Mesir. Dua kutub itu bertolak belakang—yang satu berperang dengan senjata dan doa, yang satu berjuang dengan pena dan modernisasi—namun keduanya berada dalam orbit pengaruh Snouck.
“Hanya dengan memahami bagaimana Snouck menyeimbangkan kontradiksi antara kerja kolonial dan kecendekiawanannya,” tulis Laffan, “kita dapat menilai dampaknya terhadap orang-orang yang ia pelajari dan yang ia ajar.”
Antara Akademi dan KoloniDalam bab “Orientalisme Digunakan”, Laffan menyoroti bagaimana keilmuan orientalis abad ke-19 tidak pernah benar-benar steril dari kepentingan imperial. Snouck, seperti banyak cendekiawan sezamannya, berdiri di dua kaki: satu di ruang kuliah Leiden, satu lagi di tanah jajahan. Ia bukan sekadar peneliti; ia adalah instrumen kekuasaan.
C. Snouck Hurgronje sendiri pernah menulis dalam “Mohammedaansch recht en rechtswetenschap” (1885), bahwa “teori evolusi memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap praktik kajian agama kita dibandingkan terhadap kerja-kerja kecendekiawanan para ahli hukum kita.” Sebuah refleksi bahwa agama, dalam pandangannya, juga tunduk pada hukum perkembangan dan adaptasi—pandangan yang kelak memberi pembenaran bagi intervensi kolonial atas nama “pencerahan”.
Bagi Snouck, Islam di Nusantara bukanlah Islam yang “murni”. Ia, bersama banyak sejawatnya, memandang orang Jawa dan Melayu sebagai muslim yang “belum selesai”. Ada yang menyebut mereka hanya menyimpang sedikit dari norma Islam Arab; ada pula yang menuduh mereka gagal total dalam keimanan. Di sinilah orientalisme bekerja: bukan sekadar ilmu tentang Timur, tapi cara pandang yang menempatkan “yang diteliti” sebagai obyek ketertinggalan yang perlu diarahkan.
Jejak Panjang PengaruhSnouck datang ke Aceh dengan menyamar sebagai Haji Abdul Ghaffar, bergaul dengan ulama dan tokoh lokal, mengamati dari dekat jantung perlawanan terhadap Belanda. Dari catatannya lahir laporan-laporan yang kelak menjadi dasar kebijakan kolonial: membedakan antara Islam “ritual” dan Islam “politik”, antara ulama dan haji, antara “agama” dan “pemberontakan”.
Namun, seperti dicatat Laffan, pengaruh Snouck tidak berhenti di Hindia. Di Kairo, puluhan tahun kemudian, para pembaharu Islam seperti Ali Abd al-Raziq—yang menulis tesis kontroversial tentang pemisahan agama dan negara—mengenalnya melalui murid Snouck, Mansur Fahmi. Ada semacam gema intelektual yang menembus batas koloni: orientalisme yang dulu membantu Belanda memahami Islam kini turut membentuk cara kaum muslim sendiri menafsirkan modernitas.
Orientalisme: Antara Cermin dan BayanganKini, ketika Indonesia merayakan kemerdekaannya dengan narasi perlawanan terhadap kolonialisme, sosok Snouck Hurgronje berdiri sebagai paradoks sejarah. Ia adalah ilmuwan yang fasih membaca Islam, tetapi juga arsitek kebijakan yang menundukkannya. Ia menulis tentang para ulama Aceh dengan kekaguman akademik, tapi juga membantu menaklukkan mereka dengan strategi politik.
Bagi Laffan, warisan Snouck bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan peringatan. Bahwa pengetahuan bisa menjadi alat kekuasaan; bahwa pemahaman terhadap “yang lain” selalu mengandung risiko menguasai.
“Orientalisme,” tulis Laffan, “digunakan bukan hanya untuk memahami, tapi juga untuk mengatur.”
Dan di antara naskah-naskah tua di Leiden itu, bayangan orientalisme masih bernafas—pelan, namun panjang.
(mif)