LANGIT7.ID- Ketika kita mengingat “sejarah Islam di Nusantara”, gambaran yang umum muncul adalah penjajakan, dakwah melalui pedagang, tumbuhnya pesantren dan akhirnya rumusan “Islam Nusantara” sebagai model moderat yang adaptif terhadap budaya lokal. Namun kajian Michael Laffan menunjukkan kisah lain: bahwa penyebaran Islam di Nusantara sering bergerak melalui pelabuhan-pelabuhan besar, melalui jaringan internasional para ulama dan sufi, dan juga melalui mekanisme kolonial yang mencoba memahami dan mengendalikannya.
Menurut Michael Laffan dalam
Sejarah Islam di Nusantara, ordo-ordo sufi seperti Naqsyabandiyyah dan Qadiriyyah tidak hanya hadir sebagai arus spiritual saja, tetapi sebagai jalur sosial-politik yang saling silang dengan pelabuhan, istana, perdagangan dan kekuasaan kolonial. Ia menulis bahwa “gravitasi kecendekiaan” (
literati gravity) dari Mesir, Baghdad, Damaskus hingga Turki Utsmani turut mempengaruhi Nusantara.
Di pelabuhan-pelabuhan – seperti Malaka, Patani, dan Jawa Utara – ulama dan saudagar Muslim berdialog dan berjejaring antar-wilayah. Data Laffan menunjukkan bahwa kemajuan percetakan Arab-Melayu, manuskrip berbahasa Arab dan Melayu, serta mobilitas pelajar ke Mesir dan Hadramaut pada abad ke-19 mengokohkan jejaring transnasional Islam Nusantara.
Meski demikian, kolonial Hindia Belanda tak tinggal diam. Pengawasannya terhadap pesantren, organisasi sufi, cetakan Arab-Melayu, bahkan haji ke Mekah dipandang sebagai potensi ancaman terhadap stabilitas kolonial. Sebagai contoh, pejabat-pejabat seperti J.J. Verwijk dan Van den Berg mengidentifikasi “kaum fanatik dari Mekah” yang mempengaruhi pesantren di Jawa dan menyerukan kontrol ketat terhadap organisasi sufi.
Laffan menegaskan bahwa di sinilah “gunung api” Islam Nusantara tertidur: tampaknya tenang, namun di kedalaman terdapat jaringan bawah permukaan yang menyimpan potensi letusan—gerakan keagamaan yang menyentuh relasi kekuasaan, resistensi sosial, dan identitas umat. Surat-surat dari Mekah tahun 1865 yang menyerukan pembacaan risalah sufi-hadis, serta peristiwa pemberontakan seperti di Cilegon (1888) menjadi bukti bahwa sejarah Islam Nusantara bukan hanya spiritual tapi juga politis.
Contohnya: surat anonim dari Mekah 1865 yang menginstruksikan penguasa-penguasa Melayu agar membacakan risalah tertentu kepada fakir dan kerabat di kota besar maupun dusun kecil. Walaupun risalah itu bukan hadis Nabi, tapi digunakan sebagai alat mobilisasi spiritual-sosial.
Dalam perspektif Laffan, ordo-ordo sufi dalam konteks Nusantara bukan semata kelompok mistik yang tertutup dari dunia, melainkan “politik lembut” yang berinteraksi dengan kekuasaan lokal dan kolonial. Ia menulis bahwa pada abad ke-15 hingga ke-18, ordo-ordo tersebut “dengan leluasa keluar-masuk istana”.
Mengapa ini penting untuk hari ini? Sebab pemahaman Islam Nusantara sebagai keislaman yang “ramah-budaya” tidak boleh menyembunyikan fakta bahwa agama Islam di wilayah ini telah sejak lama menjadi medan persinggungan kekuasaan, budaya, perdagangan dan globalisasi. Jika kita hanya melihat kolom pesantren-ulama-kultur lokal, kita mungkin melewatkan lapisan bawah yang pernah bergolak di era kolonial dan kini mungkin masih aktif dalam bentuk berbeda.
Laffan menulis bahwa “Islam Nusantara” bukan produk homogen, melainkan serpihan-serpihan kecil dari sejarah yang enggan dibahas — dan justru karena itu ia lebih autentik.
Dengan menilik jejak-jejak ini, kita diingatkan bahwa moderasi keislaman hari ini bukan hanya warisan budaya, tetapi juga hasil dari kondisi sejarah yang rumit: kolonialisme, mobilitas global, ordo-ordo sufi, serta adaptasi lokal yang terus berubah. Seperti gunung yang tertidur namun bangkit dari bawah ketika tekanannya mencapai titik kritis, Islam Nusantara menunjukkan bahwa kekuatan sosial-keagamaan bisa muncul dari lokasi-lokasi yang nampak tenang tapi penuh potensi riak perubahan.
Membaca ulang sejarah ini bukan hanya soal nostalgia, tetapi penting untuk memahami tantangan ke depan: bagaimana menjaga pluralitas, mencegah ekstremisme, dan memastikan bahwa jejak perdagangan, ulama, dan kolonialisme tidak terulang dalam bentuk baru yang merusak semangat inklusif Islam di Nusantara.
(mif)