LANGIT7-ID-Sejarah Islam di Nusantara sering digambarkan dengan kerangka lembut: dakwah para pedagang Arab yang berlabuh di pelabuhan-pantai, ulama sufi yang meniti silsilah hingga pesantren, lalu akulturasi dengan budaya lokal hingga membentuk wajah keislaman “Indonesia”. Namun dalam kajian Michael Laffan, kerangka tersebut harus dilengkapi dengan narasi lain: bahwa “gunung api yang tertidur”—gerakan sosial-keagamaan di bawah permukaan—sesekali meletus dan memaksa kolonial mencermati korelasi antara agama dan kekuasaan.
Laffan menggarisbawahi bahwa Islam Nusantara bukanlah entitas monolitik yang lahir dalam damai tanpa konflik; melainkan hasil silang-budaya, persilangan politik lokal, jaringan ulama global, dan tekanan kolonial. Ia memperingatkan bahwa identitas “khas” Islam Nusantara justru karena tidak benar-benar khas. “Sebab,” tulisnya, “Islam Nusantara merupakan hasil tungkus-lumus, persentuhan, perpaduan dari ajaran, perilaku, budaya dan citarasa yang aduhai jamaknya.”
Salah satu titik dramatik yang dibahas Laffan adalah surat yang beredar sekitar 1865 – satu risalah yang disebut sebagai
Pengingat bagi Orang-Orang yang Lupa (Tanbih al-ghāfilīn) karya al-Samarqandī, yang dikemas seolah hadis dan disebarkan dari Mekah ke Jawa dan Sumatra. “Yang Mulia, Nabi kita Muhammad, memberikan perintah ini kepada penguasa Mekah … [agar] para penguasa dan panghūlōe mengumpulkan para fakir … membacakan untuk mereka perintah surat ini” — demikian fragmen surat tersebut.
Surat yang muncul di tengah hembusan letusan Letusan Krakatau 1883 dan munculnya keraguan kolonial terhadap pesantren dan “fanatisme Mekah” di Jawa Barat ini menunjukkan bahwa Islam di Nusantara juga bergerak sebagai kekuatan sosial-politik. Laffan menegaskan, “Pada bab-bab berikutnya, Michael Laffan menyoroti setiap perubahan di dalam sejarah ‘Islam Nusantara’ … Ia berkesimpulan bahwa ‘Islam Nusantara’ juga bukan adonan yang persis bulat dan final.”
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa “gunung api yang tertidur pun bangun"—yaitu gelombang pembaruan atau resistensi keagamaan yang tiba-tiba muncul ketika kondisi lokal dan global berpihak: jaringan ulama dari Timur Tengah terhubung ke Jawa, pelabuhan-pelabuhan menjadi titik transmisi sufisme, pesantren mengorganisasi jamaah yang kemudian menjadi titik rujukan kolonial.
Kolonial Belanda — melalui tokoh seperti Christiaan Snouck Hurgronje dan para pejabat pemerintahan Hindia — mulai mencemaskan interaksi ini. Mereka melihat bahwa dakwah Islam tidak sepenuhnya bisa dikendalikan seperti perangkat administratif kolonial. Dalam narasi Laffan, Snouck dan kolega-nya membentuk narasi bahwa Islam Jawa/Indonesia merupakan objek penelitian dan kontrol, bukan sekadar fenomena kebudayaan biasa.
Mengapa “gunung api tertidur” ini terkadang meletus? Terdapat tiga dimensi yang diangkat Laffan: (1) jaringan ulama dan perdagangan global yang memperkuat identitas umat Islam Nusantara; (2) penetrasi logika kolonial yang memaksakan klasifikasi agama, ras, dan ekonomi ke dalam bingkai Hindia Belanda; (3) perubahan sosial-ekonomi lokal—misalnya pelabuhan, peralihan ekonomi agraris ke komersial, yang menciptakan ruang baru bagi dakwah dan organisasi keagamaan.
Contoh konkret: di Jawa Barat, para pejabat kolonial khawatir terhadap rumor rencana rahasia yang dikaitkan dengan “fanatik Mekah” dan korelasi dengan letusan Krakatau 1883 dan wabah hama setelahnya. Hal ini, menurut Laffan, memperlihatkan bahwa akumulasi ketidakpuasan sosial bisa terekskalasi ke dalam gejolak keagamaan.
Apa implikasi bagi Indonesia kontemporer? Laffan menegaskan bahwa memahami Islam Nusantara berarti menyadari keanekaan dan ketegangan dalam sejarahnya—bukan memahat identitas tunggal yang harmonis sempurna. Narasi kolonial, pesantren, ulama, dan ordo-ordo sufi semuanya mempunyai andil. “Buku ini,” tulis satu resensi, “berdasarkan potongan-potongan kecil yang terjadi dalam lipatan sejarah yang enggan dibahas oleh sejarawan lain.”
Dengan begitu, penguatan “Islam Nusantara” di masa kini tidak cukup hanya dengan mengulang formula dakwah tradisional; ia menuntut refleksi bahwa gejala-gejala terdahulu—penyebaran ulama internasional, pesantren, ordo-ordo sufi, kontrol kolonial, serta mobilitas jaringan—telah membentuk wajah keislaman Indonesia hari ini. Seperti gunung yang tertidur kembali bangun, sejarah menjaga bahwa perubahan besar bisa saja datang dari bawah permukaan.
(mif)