The House of Islamic Arts adalah museum pertama di Kerajaan Saudi yang didedikasikan untuk seni Islam. Museum ini menyimpak koleksi yang mencakup masa-masa peradaban Islam.
Sejarah bukan sekadar narasi tentang apa yang terjadi, tetapi juga tentang apa yang harus dipelajari. Ketika ayat dan artefak bersesuaian, maka iman bukan hanya dibaca tapi dirasakan.
Di sinilah, sekitar tahun ke-20 Hijriah, denyut terakhir kejayaan Zoroaster dan Sasanid berpacu melawan waktu. Pasukan Muslimin datang bukan hanya dengan pedang dan panji, tapi juga dengan mandat sejarah.
Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.
Saat Eropa terperosok dalam abad-abad kegelapan, justru dunia Muslim menjelma sebagai pusat intelektual dunia. Yang menarik: kekuatan itu bukan lahir dari isolasi, tetapi dari keterbukaan.
Setelah Haji, jamaah telusuri jejak Nabi di situs bersejarah Makkah & Madinah. Jabal al-Nour hingga Gunung Uhud jadi momen spiritual yang menggetarkan hati.
Pembicaraan tentang hubungan agama dan politik dalam Islam seringkali mengabaikan konteks historis yang mendasar: masyarakat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW.
Malam jatuh perlahan di kota Makkah, saat para lelaki Quraisy menyesap nabidh di sekeliling Kakbah. Mereka duduk melingkar, menyimak kisah dari utara dan selatan, dari Yaman hingga Hira, dari Ghassan hingga pedalaman Hijaz.
Zamzam sumur yang dulu dikatakan muncul karena tangisan Ismail telah lama hilang jejaknya. Dan Abd al-Muttalib hanya punya satu anak lelaki, Harith, untuk membantu tugas yang sungguh berat.
Syaiba dibawa pulang ke Makkah, menunggang unta pamannya. Warga kota menyangka ia budak, dan dari sanalah nama Abd al-Muthalibbudak Muthalibmelekat. Ironisnya, nama itu justru menjadi identitas sejarah yang tak terlupakan.
Dari langkah sunyi seorang ayah dan putra di tanah tandus, hingga pusaran sejarah yang mengikat Makkah sebagai nadi keimanan umat Islam. Mengapa masih ada yang meragukan?
Ribuan orang datang ke Madinah dari berbagai penjuru: dari kota-kota dan pedalaman, dari pegunungan dan padang pasir, dari semua pelosok Tanah Arab yang membentang luas.