Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 23 Oktober 2025
home masjid detail berita

Snouck Hurgronje: Ketika Ilmu Menjadi Senjata Kolonial

miftah yusufpati Rabu, 22 Oktober 2025 - 16:30 WIB
Snouck Hurgronje: Ketika Ilmu Menjadi Senjata Kolonial
Christiaan Snouck Hurgronje menjelma dari ilmuwan muda menjadi arsitek pengetahuan kolonial. Ilustrasi: Ist
LANGIT7.ID-Tahun 1880, seorang pemuda berusia 25 tahun dari Oosterhout, Belanda, menulis disertasi yang akan mengubah arah kariernya — sekaligus nasib sebuah negeri jauh di timur. Namanya Christiaan Snouck Hurgronje, putra seorang pendeta Protestan yang lebih tertarik pada bahasa Arab ketimbang ayat-ayat gereja.

Ia bukan sekadar ilmuwan muda Leiden. Ia adalah cikal bakal arsitek pengetahuan kolonial tentang Islam di Hindia Belanda.

Snouck menempuh pendidikan teologi di Universitas Leiden sejak 1874. Awalnya ia mempelajari bahasa Ibrani dan kesusastraan klasik. Tapi di tengah rutinitas kuliah, ia jatuh cinta pada dunia Arab — dunia yang baginya memadukan nalar dan mistik.

Disertasinya, yang diselesaikan tahun 1880, menelusuri asal-usul ibadah haji. Di bawah bimbingan orientalis terkemuka M.J. de Goeje, Snouck menantang teori-teori lama seperti karya Dozy dalam De Israëlieten te Mekka (1864). Sejak itu, pandangan kritisnya mulai dikenal di kalangan ilmuwan Eropa.

Namun, Laffan mencatat bahwa karier Snouck tidak berhenti di ruang kajian Timur Tengah. Ia direkrut oleh Lembaga Kota Praja Leiden untuk melatih para calon pejabat kolonial — lembaga yang menyiapkan birokrat Hindia Belanda agar memahami, atau setidaknya mengendalikan, Islam di Nusantara.

Dari sanalah, tulis Laffan, “ia mulai menjalani debutnya di panggung kecendekiawanan publik dengan serangkaian artikel yang kelak membentuk masa depannya.”

Perang Pena di Leiden

Antara 1882 dan 1883, Snouck menulis kritik tajam terhadap para pendahulunya: T.W.J. Juynboll, P.A. van der Lith, dan terutama L.W.C. van den Berg, pejabat kolonial yang menerjemahkan kitab Minhâj at-Tâlibîn karya Imam Nawawi.

Artikel Snouck, yang diterbitkan di jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (BKI), menyerang kesalahan terjemahan dan bias orientalis karya Van den Berg. Ia menyindir bahwa karya tersebut “tak berguna bagi publik maupun administrator kolonial,” dan bahkan lebih baik membeli edisi murah dari Kairo.

Pesannya jelas: kolonialisme membutuhkan pengetahuan yang lebih tajam tentang Islam, bukan sekadar tafsir teologis atau romantisme eksotik.

Panggung Kolonial: Ilmu, Agama, dan Pameran

Pada tahun 1883, kota Leiden menjadi tuan rumah Kongres Orientalis Internasional keenam, di bawah pimpinan Abraham Kuenen — guru Snouck sendiri. Kongres itu diatur bersamaan dengan Pameran Kolonial Besar di Amsterdam, tempat orang-orang Belanda memamerkan kekayaan Hindia di bawah gerbang raksasa bergaya Moor.

Dari seluruh negeri, ribuan orang datang mengagumi “negeri jajahan” yang eksotis. Arsitektur pseudo-Islamik yang mengapit pameran itu, tulis Laffan, “direstui oleh Veth dengan alasan bahwa orang Indonesia tak mengembangkan gaya mereka sendiri.” Sebuah ironi kolonial yang mengubah Islam menjadi dekorasi visual.

Di kongres itu pula hadir seorang pengunjung Arab, Amin b. Hasan al-Madani, penulis pamflet antitarekat. Ia menyaksikan bagaimana Eropa membahas Islam tanpa benar-benar memahaminya — pengalaman yang kelak berpengaruh pada cara kaum Muslim memandang Barat.

Membela Islam, Menyelamatkan Koloni

Di tengah euforia kolonial itu, Snouck tampil dengan makalah yang mengguncang para sejawatnya. Ia menegaskan bahwa Islam di Hindia bukanlah “baju rombeng yang menutupi kekafiran”, seperti yang diyakini sebagian misionaris.

Menurutnya, kaum Muslim di Jawa dan Sumatra sama Islamnya dengan kaum Muslim di Timur Tengah. Ia menyerang pandangan rasis para orientalis yang menganggap Islam Nusantara hanya kulit luar dari kepercayaan animistik.

Namun, pembelaan itu tak sepenuhnya bebas kepentingan. Snouck menutup makalahnya dengan peringatan kolonial: para haji yang pulang dari Mekah membawa “mesiu sosial-politik” yang berpotensi mengguncang Hindia. Karena itu, ibadah haji perlu diawasi.

Dalam pandangan Snouck, pengetahuan tentang Islam harus menjadi alat pengendalian. Ia menulis bahwa “penyelidikan terhadap apa yang dibawa para haji lebih mendesak dilakukan daripada sekadar menghitung dompet kosong dan segenggam tanah suci yang mereka bawa pulang.”

Bahasa, Kitab, dan Kekuasaan

Sebelum benar-benar menjejak tanah Arab, Snouck mendalami bahasa Melayu — kunci untuk membuka dunia Islam Nusantara. Ia mempelajari kitab-kitab pesantren, dari Minhaj at-Talibin hingga karya Hamzah Fansuri. Dalam studinya atas manuskrip yang dikumpulkan oleh residen K.F.H. van Langen di Dataran Tinggi Padang, Snouck melihat bagaimana ulama lokal menerjemahkan pengetahuan Arab ke dalam konteks Melayu.

Namun, ia juga menilai ajaran tasawuf di Jawa dengan mata curiga. “Bagi yang terdidik,” tulisnya, “dzikr hanyalah kegiatan insidental.” Bagi rakyat kebanyakan, ia menilai zikir dan tarian sufi sebagai “latihan fisik untuk memuja Tuhan.”

Orientalisme Snouck di sini mencapai bentuk khasnya: mengkaji Islam dengan intensitas ilmiah, tapi menempatkannya dalam hierarki penilaian kolonial.

Mata Tertuju ke Hindia

Pada akhirnya, semua pencarian ilmiah Snouck berujung pada satu arah: Hindia Belanda. Seperti ditulis Michael Laffan, Snouck telah lama memikirkan keterlibatannya di dunia Muslim Nusantara — melalui Mekah, tempat para haji dari Sumatra dan Jawa berkumpul.

Ia sadar, untuk memahami Islam di Hindia, ia harus “berdiri di atas pundak seorang ahli bahasa,” seperti disarankan van der Tuuk. Ia pun bersiap: menguasai Melayu, meneliti manuskrip, dan membangun reputasi sebagai ahli Islam yang memahami dunia Muslim lebih baik daripada kaum misionaris.

Beberapa tahun kemudian, ketika ia benar-benar berangkat ke Mekah dengan nama samaran Haji Abdul Ghaffar, fondasi ideologinya sudah terbentuk.

Snouck bukan lagi sekadar orientalis. Ia adalah mata Barat yang menatap ke Timur, bukan untuk belajar, tapi untuk mengatur.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 23 Oktober 2025
Imsak
04:02
Shubuh
04:12
Dhuhur
11:41
Ashar
14:51
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan