Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 23 Oktober 2025
home masjid detail berita

Ketika Belanda Mencoba Membaca Surga: Menerjemahkan Tuhan di Negeri yang Tak Dikenal

miftah yusufpati Selasa, 14 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Ketika Belanda Mencoba Membaca Surga: Menerjemahkan Tuhan di Negeri yang Tak Dikenal
Snouck Hurgronje. Foto: Ist
LANGIT7.ID-Di Leiden, musim dingin 1655, Gisbertus Voetius menatap naskah lusuh berhuruf Arab yang dibawa dari Timur. Di atas meja kayunya, tinta menetes dari pena bulu angsa, tapi makna huruf-huruf itu tetap membeku. Ia, seorang profesor teologi di Universitas Utrecht, mencoba memahami “agama Mohammedan” dari terjemahan yang tak pernah selesai. Bahasa Arab sudah dipelajarinya sedikit dari Thomas Erpenius, orientalis kesohor Leiden, tapi kitab-kitab yang datang dari Timur seperti berbicara dalam suara Tuhan yang asing.

“Pengetahuan tentang bahasa adalah satu hal,” tulis Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara (Mizan, 2015), “pengetahuan tentang agama adalah hal yang lain.” Kalimat itu membelah abad. Dari abad ke-17 hingga kini, ia seperti gema yang tak padam dari ruang-ruang arsip Batavia hingga rak buku Leiden.

Pada masa itu, Belanda baru saja menaklukkan benteng-benteng Portugis di Timur. Dari Malaka hingga Makassar, para pedagang dan misionaris membawa Injil dan kamus Melayu. Tapi yang mereka temui bukan sekadar “orang kafir” yang perlu diselamatkan, melainkan dunia Islam yang telah lama berakar di tanah-tanah lembab Nusantara.

Isaac de Saint Martin, Komandan Garnisun Batavia, mungkin lebih paham bahasa Melayu daripada para pendeta yang dikirim dari Rotterdam. Ia mengoleksi hampir 90 manuskrip Melayu dan Jawa — yang kelak menjadi dasar koleksi Sekretariat Jenderal Batavia. Tapi bagi banyak pendeta, Islam tetap tampak sebagai “agama ringan” yang mudah diterima orang-orang bodoh, seperti keluh François Valentijn dalam Oud en Nieuw Oost-Indiën (1724–26).

Valentijn sendiri fasih berbahasa Melayu, bahkan bersahabat dengan Syekh-syekh di Ambon dan Jepara. Namun ia tetap menulis bahwa Islam “bukan agama utama,” melainkan “endapan Yahudi dan khayalan Saracen.” Ia tak mengerti bahwa di setiap surau kecil, para santri mempelajari fiqh, membaca Ma‘rifat al-Islam, atau mengulang Bustan al-Salatin dalam bahasa yang ia anggap rusak.

Kolonialisme Pengetahuan

Laffan menunjukkan bagaimana sejak awal abad ke-17, pengetahuan Belanda tentang Islam lebih dibentuk oleh “keyakinan yang masuk akal” — sebuah rasionalitas Protestan yang menolak takhayul, tapi gagal membaca spiritualitas Timur. Ketika Erpenius berdiskusi dengan Ibn al-Hajari, seorang Morisco pelawat, Leiden masih membuka diri terhadap pertemuan lintas iman. Tapi dua abad kemudian, sikap itu membeku menjadi misi yang menindas: upaya menjinakkan agama melalui bahasa.

Rumphius, naturalis yang kehilangan penglihatan di Ambon, menulis tentang tumbuhan tropis sambil mengejek “takhayul Sunan Giri” yang memberi gelang kebal dan besi India berazimat. Ia tak tahu bahwa dalam gelang itu tersimpan barakah, bukan sihir. Baginya, jin hanyalah “Djing”—makhluk khayalan penghuni pegunungan. Tapi bagi orang-orang Hitu dan Buru, jin adalah bagian dari alam ciptaan Tuhan.

Dalam dunia kolonial, pengetahuan adalah bentuk kekuasaan. Kamus Melayu yang disusun Melchior Leijdecker pada 1691 dimaksudkan bukan untuk memahami, melainkan untuk menguasai. Bahasa dijadikan pintu masuk bagi Injil, bukan jembatan bagi dialog. “Mereka ingin memajukan agama Melayu,” tulis Laffan dengan getir, “maksudnya, Kristen Protestan.”

Ketika Kata Menjadi Alat Penaklukan

Setelah 1750, Leijdecker dan Werndly mengisi kamus dengan kata-kata Islam yang mereka salah dengar: tariyaka untuk tarekat, tirricat untuk ketundukan. Mereka berusaha memetakan dunia yang tak mereka pahami — seperti menggambar peta surga dengan tinta politik. Dalam arsip Batavia, para pendeta sibuk menyusun terjemahan Injil ke dalam “Melayu Tinggi,” tapi gagal menjangkau batin masyarakat yang hidup di pesantren dan hutan-hutan ilmu.

Mereka bisa menyalin kata santrij, tapi tak pernah tahu doa apa yang dibaca santri sebelum tidur. Mereka menulis “bid’at” dalam kamus, tapi tak menyadari bahwa bidah yang sesungguhnya adalah mengira Tuhan bisa dijelaskan dengan tata bahasa Eropa.

Ratusan tahun kemudian, kita masih bisa mendengar gema pertemuan itu: benturan dua dunia yang tak pernah saling belajar. Valentijn menulis bahwa Al-Qur’an dibaca “dari Patani hingga Jawa,” seakan mengeluh karena Injil tak mampu menyainginya. Ia tak paham bahwa kitab itu tak hanya dibaca, tapi dihayati dalam bahasa yang lebih dalam dari terjemahan mana pun: bahasa jiwa.

“Dalam satu abad,” tulis Laffan, “Belanda tidak membuat banyak kemajuan dibandingkan para pesaing Muslim mereka.” Sebab Islam menyebar bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kedekatan. Ia menembus hati, bukan lewat kamus.

Lupa Merawat Cinta Pengetahuan

Ketika Masyarakat Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan berdiri pada 1778, mereka bahkan mengadakan lomba untuk menjelaskan bagaimana “Muhamed dan para imamnya” berhasil mengislamkan kepulauan. Hadiahnya 100 ducat. Tak ada yang menang. Mungkin karena tak seorang pun di antara mereka benar-benar mau mendengarkan suara dari masjid di sebelah rumah.

Snouck Hurgronje — yang berabad kemudian datang ke Aceh — akan mencatat pada 1886 bahwa para sarjana Belanda “lebih banyak digerakkan oleh keyakinan yang masuk akal ketimbang pengetahuan historis.” Sebuah pengakuan yang terlambat, tapi jujur: mereka mencoba memahami Islam dengan mata, bukan dengan hati.

Dan di situlah, kata Michael Laffan, terletak akar dari “Islam Indonesia” yang terbentuk bukan karena penaklukan, melainkan karena tafsir atas diri sendiri — tafsir yang tumbuh di antara kesalahpahaman kolonial dan cinta lokal yang tak bisa diterjemahkan.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 23 Oktober 2025
Imsak
04:02
Shubuh
04:12
Dhuhur
11:41
Ashar
14:51
Maghrib
17:49
Isya
18:59
Lihat Selengkapnya
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ
Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.”
QS. Ali 'Imran:64 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan