LANGIT7.ID-Batavia, Mei 1889. Seorang lelaki Belanda berwajah tirus turun dari kapal di pelabuhan Sunda Kelapa. Namanya: Christiaan Snouck Hurgronje. Di kepalanya dua topi—secara harfiah dan metaforis. Di satu sisi, dia seorang orientalis yang baru pulang dari Mekkah, diakui kalangan akademis Eropa sebagai ahli Islam. Di sisi lain, bagi sebagian orang pribumi yang menyambutnya, ia datang sebagai seorang haji, bahkan “mufti”—seorang ulama Eropa yang menyamar.
Bintang Barat, surat kabar masa itu, memberitakan dengan nada heran dan antusias: “Mr. Dr. C. Snouck Hurgronje alias Moefti Hadji Abdoel Gafar telah tiba. Seorang yang sangat terpelajar dalam bahasa Arab dan agama.”
Kehadirannya menimbulkan kehebohan. Akankah sang doktor Belanda ini menyelidiki kehidupan Islam di Solo? Atau menyusup ke pesantren-pesantren di Priangan?
Dalam tiga tahun berikutnya, antara 1889 hingga 1892, Snouck melakukan perjalanan panjang melintasi Jawa—Batavia, Priangan, hingga Ponorogo. Ia bukan turis, melainkan penyelidik yang menulis rapi di dua lusin buku catatan.
Di dalamnya tercatat nama-nama ulama, jaringan tarekat, hingga hubungan perkawinan antarkiai. Ia mencatat dengan tekun, memetakan Islam Jawa layaknya seorang ahli biologi yang sedang membedah jaringan sosial.
Tugas utamanya bukan akademik murni. Snouck sedang menyiapkan landasan bagi pemerintah kolonial untuk *mengelola Islam*—menetapkan siapa ulama yang patuh dan siapa yang perlu diawasi.
Dalam suratnya kepada teolog Herman Bavinck, ia menulis: “Pengetahuan tentang situasi Mohammedan di sini sama pentingnya bagi pemerintah seperti roti yang kita makan setiap hari.”
Pertemuan yang Mengubah ArahDi Garut, Snouck bertemu seorang guru sufi muda bernama Hasan Mustafa. Keduanya sempat bersua di Mekah, namun hubungan mereka baru terjalin erat di tanah Priangan. Hasan Mustafa, anak didik ulama besar Nawawi al-Bantani, menjadi informan utama Snouck—dengan bayaran 50 gulden per bulan. Dari hubungan ini, mengalir banyak informasi tentang pesantren, tarekat, dan jejaring ulama di Jawa Barat.
Melalui mata dan pena Hasan Mustafa, Snouck memahami denyut Islam pribumi: para guru yang mengajar dalam bahasa Sunda tetapi membaca kitab Arab; para santri yang menjadikan perjalanan ke Surabaya atau Mekah sebagai puncak pencarian spiritual; dan para mursyid tarekat yang menggabungkan ajaran Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, bahkan Syattariyyah dalam satu tarikan napas.
Catatan Snouck menggambarkan Jawa pada masa transisi. Tarekat-tarekat mistik tradisional mulai tergeser oleh bentuk “neo-Sufisme” yang lebih sistematis dan bercetak buku.
Namun, bukan berarti tradisi lama mati. Di Cirebon, Snouck menemui Imam Prabu dan Adi Kusuma, guru-guru Syattariyyah yang masih menyimpan manuskrip kuno di daun lontar, meski malu-malu menyebutnya “pusaka”.
Di Sukabumi dan Cikalong, kiai-kiai menyerahkan naskah-naskah tua mereka kepada Snouck, kadang karena merasa teks-teks baru dari Kairo dan Bombay lebih bergengsi. Di sana pula Snouck mendengar tentang Martabat Tujuh, teks mistik yang beredar di Batavia, menjadi hantu intelektual yang menakutkan sekaligus menggoda.
Hasan Mustafa dan Para Jaringan SantriHasan Mustafa menjadi semacam jembatan antara Snouck dan dunia Islam pribumi. Ia bukan sekadar informan, melainkan pemandu budaya. Ia memperkenalkan Snouck pada jaringan para santri Surabaya dan Garut, serta guru-guru besar seperti Muhammad Garut—murid Ahmad Khatib Sambas, pendiri tarekat Qadiriyyah wa-Naqsyabandiyyah di Nusantara.
Dari sinilah Snouck mulai mengubah pandangannya. Ia, yang sebelumnya mencurigai tarekat sebagai potensi pemberontakan, mulai melihat kompleksitasnya. Para guru tidak hanya mistikus, tapi juga penafsir, guru bahasa, dan perantara sosial.
Dalam catatannya, Snouck mengagumi Muhammad Talha, ulama Cirebon yang memadukan berbagai tarekat dengan fiqih Syafi‘i dan Hanafi. Pesantrennya megah, dengan rumah batu dan asrama, serta fatwa-fatwa “berguna” tentang brendi dan poligami.
Perjumpaan antara Snouck dan para ulama Jawa bukan sekadar kisah kolonial tentang pengawasan. Ia juga kisah kolaborasi—kadang penuh kepentingan, kadang tulus sebagai pertukaran pengetahuan.
Snouck membutuhkan para kiai untuk memahami Islam pribumi. Para kiai, sebaliknya, menggunakan Snouck untuk memperluas jaringan, mendapatkan akses ke dunia percetakan dan kekuasaan kolonial.
Hasan Mustafa misalnya, kelak menjadi penghulu besar di Bandung, dihormati sebagai penyair sufi dan ulama terkemuka.
Snouck sendiri menulis De Atjehers dan menjadi penasihat pemerintah kolonial untuk “urusan pribumi dan Arab”—jabatan yang ia pegang seumur hidup.
Michael Laffan dalam
Sejarah Islam di Nusantara (Mizan, 2015) menulis dengan jernih: “Jejaring pengetahuan yang dicatat Snouck bukan sekadar silsilah kecendekiawanan, tetapi juga ikatan darah.”
Di balik catatan-catatan kolonial yang kering, tersimpan kisah manusia: tentang guru dan murid, santri dan orientalis, iman dan kekuasaan.
Dan di tengahnya, ada Indonesia yang sedang dibentuk—melalui perjumpaan-perjumpaan kolaboratif di antara manuskrip, kitab cetak, dan guru-guru sufi yang tak pernah diam.
(mif)