LANGIT7.ID-Pada sebuah babak dalam sejarah pemikiran Islam modern, Achmad Baiquni—fisikawan lulusan Universitas Gadjah Mada dan tokoh perintis integrasi ilmu dan iman—berusaha menjembatani sains modern dengan ayat-ayat kosmologis Al-Qur’an. Dalam tulisannya “Konsep-Konsep Kosmologis” (dalam buku Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, disunting Budhy Munawar-Rachman, Yayasan Paramadina, 1994), Baiquni tak hanya memaparkan teori fisika mutakhir, tapi juga mengajak pembaca untuk “membaca alam” sebagaimana membaca wahyu.
Baiquni memulai dengan cerita tentang kelahiran jagat raya. Alam semesta, tulisnya, berawal dari “ketiadaan”—sebuah guncangan vakum yang menimbulkan energi luar biasa besar. Dalam terminologi kosmologi modern, peristiwa ini dikenal sebagai Big Bang, ledakan awal yang memulai ruang, waktu, dan materi. Ia menjelaskan dengan rinci fase-fase awal penciptaan: dari suhu 1.000 triliun-triliun derajat dalam waktu 10⁻³⁵ detik, hingga fenomena “inflasi” yang membuat semesta mengembang dengan kecepatan tak terbayangkan.
Ilmuwan modern menyebut masa itu sebagai cosmic soup, campuran partikel dan radiasi yang masih cair. Dari zat alir panas inilah terbentuk atom pertama, lalu galaksi, bintang, dan planet.
Namun Baiquni tak berhenti di situ. Ia memadukan penemuan ilmiah itu dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang menyiratkan dinamika penciptaan alam:
“Dan tidakkah orang-orang kafir mengetahui bahwa ruang waktu dan energi-materi itu dahulu sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya.” (QS. Al-Anbiya’: 30)
“Dan ruang waktu itu Kami bangun dengan kekuatan, dan sesungguhnya Kamilah yang meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyat: 47)
Dalam tafsir sains Baiquni, ayat-ayat ini menggambarkan proses dentuman besar dan ekspansi kosmos—gejala yang baru terkuak secara ilmiah setelah abad ke-20.
Ketika Kosmos Mengoreksi FilsafatDalam uraian yang disusun dengan gaya ilmiah populer, Baiquni menelusuri bagaimana sejarah sains justru memperlihatkan koreksi demi koreksi terhadap pemikiran manusia yang menolak konsep “ciptaan”.
Albert Einstein, misalnya, awalnya beranggapan alam semesta bersifat statis. Ia bahkan menambahkan “konstanta kosmologis” untuk menyesuaikan persamaan relativitas umumnya. Namun observasi Edwin Hubble tahun 1929 membuktikan sebaliknya: galaksi-galaksi bergerak menjauh—tanda alam semesta mengembang. Einstein kemudian mencabut teorinya sendiri dan menyebut koreksi itu sebagai “kesalahan terbesar dalam hidupnya”.
Baiquni juga mencatat perdebatan klasik antara Fred Hoyle dan George Gamow. Hoyle menolak ide “dentuman besar” dan menawarkan teori steady state universe—alam yang ajeg tanpa awal dan akhir. Tapi penemuan radiasi gelombang mikro kosmik oleh Penzias dan Wilson pada 1964 mematahkan klaim itu. Radiasi seragam dari segala arah itu diyakini sebagai “gema” Big Bang, bukti empiris dari “ciptaan yang berawal”.
Dengan nada reflektif, Baiquni menulis: “Hasrat mempertahankan konsep alam yang tak berawal selalu menemui kegagalan, karena tak sesuai dengan kenyataan terobservasi.”
Ketika Wahyu Menyapa SainsBagi Baiquni, perjalanan sains bukan sekadar penemuan rasional, tetapi bagian dari sunnatullah—hukum tetap yang diatur Allah bagi alam semesta. Ia mengutip QS. Al-Fath: 23: “Engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah.”
Dalam semangat itu, Baiquni menolak dikotomi antara agama dan ilmu. Ia menulis bahwa pengetahuan kosmologi modern dapat menjadi jalan untuk “membaca tanda-tanda kekuasaan Tuhan.” Ia menafsirkan ulang sejumlah ayat—dari Fushshilat, As-Sajdah, hingga Hud—sebagai gambaran tentang fase penciptaan yang bertahap, dari zat alir panas (
cosmic fluid) hingga pembentukan ruang dan waktu yang berlapis (tujuh “langit”).
Ia bahkan mengutip ayat QS. Fushshilat: 53 untuk menegaskan simbiosis antara wahyu dan observasi: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan dalam diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bahwa Al-Qur’an itu benar.”
Bayangan Dunia dan Dimensi Tak TerlihatMenariknya, Baiquni juga menyinggung teori dimensi-dimensi tersembunyi dalam fisika modern. Berdasarkan kalkulasi teoritis, katanya, alam semesta mungkin memiliki 10 dimensi—empat dimensi ruang-waktu yang kita rasakan, dan enam dimensi lain yang “tergulung” rapat di skala 10⁻³² sentimeter.
Dimensi tak terlihat ini, menurut Baiquni, “bermanifestasi sebagai muatan listrik dan nuklir,” dan bahkan membuka kemungkinan adanya “dunia bayangan” (*shadow world*) yang berdampingan dengan dunia kita namun tak bisa dilihat kecuali melalui gaya gravitasi.
Dengan metafora yang khas ilmuwan sekaligus beriman, ia menulis: “Barangkali ada alam kembaran di sekeliling kita, tapi tak kita lihat; ia hanya dapat kita sentuh melalui medan gaya.”
Sains sebagai Tafsir KeduaDalam kerangka pemikiran Baiquni, sains bukanlah “pembenaran” terhadap Al-Qur’an, melainkan tafsir kedua setelah teks. Ia menegaskan, “Patokan saya adalah kebenaran kitab suci. Apa yang bertentangan dengannya saya tolak.”
Pernyataan ini seolah menjawab tuduhan sebagian kalangan bahwa pendekatannya sekadar upaya “memaksakan” ayat agar cocok dengan teori ilmiah. Bagi Baiquni, sains dan Al-Qur’an berdiri dalam relasi dialektis: saling menegaskan, bukan saling mengoreksi.
Pemikiran ini menempatkan Baiquni sejalan dengan tradisi
Islamic scientific worldview yang kemudian dikembangkan oleh tokoh seperti
Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Naquib al-Attas, namun dengan sentuhan khas ilmuwan eksperimental: observasi menjadi zikir, laboratorium menjadi tempat tafakur.
Akhir Alam dan Awal KeyakinanBaiquni menutup tulisannya dengan dua kemungkinan nasib kosmos:
1. Alam semesta “terbuka” yang terus mengembang selamanya.
2. Alam “tertutup” yang kelak runtuh kembali ke dalam singularitas asalnya.
Kedua pandangan ini, katanya, belum dapat dipastikan karena manusia belum mengetahui massa total alam, termasuk yang tersembunyi dalam materi gelap dan neutrino. Namun Al-Qur’an, menurutnya, sudah memberi isyarat:
“
Pada hari Kami gulung ruang-waktu laksana menggulung lembaran tulis; sebagaimana Kami mulai penciptaan, begitulah Kami akan mengembalikannya.” (QS. Al-Anbiya’: 104)
Di titik inilah, sains berhenti pada hipotesis, dan wahyu berbicara dengan kepastian.
Menyatukan Langit dan BumiBaiquni bukan sekadar fisikawan yang berzikir di bawah teleskop; ia mewakili semangat kaum intelektual Muslim yang percaya bahwa iman dan ilmu adalah dua sisi dari satu mata rantai.
Dalam konteks Indonesia 1990-an—ketika modernisasi dan spiritualitas sering dianggap berseberangan—tulisan Baiquni di bawah penyuntingan Budhy Munawar-Rachman dan bendera Yayasan Paramadina menjadi bagian dari gerakan besar *Islam progresif*: usaha menafsirkan wahyu dalam bahasa zaman.
Dari singularitas hingga sunnatullah, dari “sop kosmos” hingga “ayat langit,” Baiquni menyusun peta kosmos yang bukan hanya menjelaskan asal mula alam, tapi juga mengingatkan manusia tentang posisinya: sebutir debu yang berpikir, beriman, dan bertanya.
(mif)