LANGIT7.ID-Di tengah gegap gempita investasi dan geliat ekonomi digital, dunia tampak seolah berlomba menumpuk laba. Tanah diborong untuk spekulasi, pabrik menumpuk produk berlebih, dan uang mengalir di ruang-ruang maya yang tak lagi menyentuh tenaga kerja. Namun di balik hiruk-pikuk itu, Islam sudah berabad-abad lebih dulu berbicara tentang cara mengembangkan harta tanpa merusak akhlak dan kepentingan umum.
“Islam melarang harta dibekukan, tapi juga menolak harta dikembangkan dengan cara yang membahayakan,” tulis Syaikh Yusuf Qardhawi dalam magnum opus-nya,
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah (
Malaamihu Al-Mujtama’ Al-Muslim Alladzi Nasyuduh), terbitan Citra Islami Press, 1997.
Prinsip itu, kini, terasa semakin bergema di tengah kesenjangan sosial dan krisis moral ekonomi.
Tanah, Pabrik, dan Amanah yang TerlupakanDalam pandangan Islam, setiap kepemilikan adalah amanah — istikhlaf, istilah Qardhawi — bahwa manusia hanyalah peminjam dari Tuhan. Karena itu, tanah yang dibiarkan tandus di saat masyarakat butuh pangan, atau pabrik yang berhenti berproduksi ketika pasar memerlukan, sama artinya dengan mengkhianati amanah.
Larangan itu bukan sekadar ideal moral. Ia adalah etika produktif: harta harus berputar, menghidupkan, bukan menimbun kematian. “
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka azab yang pedih,” (QS. At-Taubah : 34-35).
Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, gema ayat ini terasa aktual. Seperti dilaporkan dalam portal resmi pro.kutaitimurkab.go.id (28 Oktober 2025), masyarakat menuntut agar pengelolaan sumber daya tak hanya berpihak pada segelintir pemodal, tetapi juga membuka lapangan kerja dan menjaga lingkungan. Prinsipnya sama: harta yang disimpan tanpa manfaat sosial adalah harta yang mati.
Ketika Modal Menyerap NuraniQardhawi menegaskan, Islam menolak paham materialisme yang menuhankan kebebasan ekonomi tanpa batas. Seperti kaum Syu‘aib yang berkata, “
Apakah agamamu menyuruh kami meninggalkan apa yang kami kehendaki atas harta kami?” (QS. Huud : 87), modernitas sering menjelma dalam bentuk serupa — kebebasan tanpa tanggung jawab.
Dari situ, Islam mengajarkan keseimbangan: kebebasan mengelola harta harus tunduk pada moral dan kepentingan sosial. Maka, Qardhawi menyusun batas-batas investasi yang bermoral: tanpa riba, tanpa penimbunan (
ihtikar), tanpa penipuan, tanpa perdagangan barang haram, dan tanpa mengikis akhlak.
Riba, dalam pandangan Qardhawi, adalah akar ketimpangan ekonomi modern — “yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.” Ia menyebut pelaku riba “seperti segumpal darah yang menyerap darah orang lain tanpa bekerja”.
Ayatnya tegas: “
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba… jika tidak, maka ketahuilah Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al-Baqarah: 278–279).
Bagi Qardhawi, larangan ini adalah revolusi sosial. Ia bukan hanya ajaran agama, melainkan perlawanan sistemik terhadap kapitalisme predatoris yang merusak keseimbangan masyarakat.
Ihtikar dan Krisis KemanusiaanDalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada yang menimbun kecuali orang berdosa.”
Kata “menimbun” di sini bukan sekadar menyimpan beras di gudang, tetapi sikap batin: membangun diri di atas penderitaan orang lain.
Ketika pandemi melanda dan masker melambung, kita melihat wajah modern dari ihtikar. Dalam pandangan Islam, tindakan itu bukan sekadar tidak etis — ia adalah bentuk pengkhianatan sosial. Imam Abu Yusuf bahkan memperluas makna ihtikar: segala hal yang disimpan hingga membahayakan manusia adalah dosa.
“Barang siapa menipu, bukan termasuk umatku,” sabda Rasulullah SAW (HR. Muslim).
Qardhawi menegaskan, penipuan bukan hanya kecurangan dagang, tapi juga sistem ekonomi yang memanipulasi kepercayaan publik — dari laporan keuangan palsu hingga inflasi buatan.
Di tengah era pasar modal dan ekonomi digital, peringatan itu terasa getir. “Ketika data menjadi alat tipu daya,” tulis Qardhawi, “maka ekonomi kehilangan ruh amanahnya.”
Etika Investasi dan Keberkahan SosialIslam, menurut Qardhawi, tidak memusuhi kekayaan. Ia justru memerintahkan umatnya untuk produktif — namun dalam bingkai moral.
Tidak boleh berdagang barang haram, tidak boleh memperkaya diri dari kehancuran orang lain, dan tidak boleh membangun sistem ekonomi yang menjauhkan manusia dari kebaikan.
Dalam satu hadis, Rasulullah SAW mengingatkan: “Sebaik-baik hamba Allah adalah yang memberi manfaat bagi sesama.”
Dalam tafsir Qardhawi, inilah dasar ekonomi Islam — *ekonomi keberkahan*, di mana laba selalu diiringi maslahat.
Dari Fiqh ke Ekonomi HijauEmpat belas abad sebelum konsep ESG (
Environmental, Social, and Governance) populer di bursa dunia, Islam sudah meletakkan prinsip serupa. Bahwa investasi harus membawa manfaat sosial dan menjaga keseimbangan lingkungan.
Ketika pemerintah daerah kini mulai mendorong investasi hijau dan ekonomi berkelanjutan — seperti di Kutai Timur — nilai-nilai yang digagas Qardhawi menemukan relevansinya kembali. Harta yang berputar dengan etika akan menghidupkan peradaban; harta yang ditimbun dengan keserakahan hanya menumbuhkan jurang sosial.
Dalam dunia yang haus keuntungan, ajaran Qardhawi terdengar seperti oase moral: “Islam menjadikan pemilik harta sumber kebaikan, bukan sumber malapetaka.”
Harta, dalam Islam, bukan tujuan, melainkan amanah. Ia harus berputar, menumbuhkan, dan membawa rahmat bagi semesta. Di atas hitung-hitungan laba dan rugi, Islam menempatkan satu neraca yang tak pernah berubah: neraca akhlak dan kemaslahatan sosial.
(mif)