LANGIT7.ID-Di tengah gempuran liberalisasi ekonomi global, perdebatan soal kepemilikan sumber daya publik kembali mengemuka. Isu soal siapa yang berhak menguasai air, tambang, dan energi, menjadi perbincangan serius di ruang-ruang akademik dan media sosial.
Namun jauh sebelum konsep “ekonomi hijau” dan “keadilan distributif” populer, Islam telah membahasnya dengan prinsip sederhana namun tegas: *barang-barang yang dibutuhkan bersama tak boleh dimonopoli pribadi.*
Gagasan itu bukan datang dari ideologi modern, melainkan dari warisan klasik Islam sebagaimana dijelaskan oleh ulama besar, Syaikh Yusuf Qardhawi, dalam bukunya
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (
Malaamihu Al-Mujtama’ Al-Muslim Alladzi Nasyuduh), terbitan Citra Islami Press, 1997.
“Islam mengeluarkan dari lingkup pemilikan pribadi segala sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat, dan mewajibkan kepemilikannya pada masyarakat,” tulis Qardhawi.
Dalam analisis Qardhawi, setiap sistem ekonomi lahir dari cara pandangnya terhadap hak milik. Komunisme meniadakan kepemilikan pribadi, bahkan terhadap alat produksi. Sosialisme membatasi hak individu atas tanah dan pabrik, memindahkannya ke tangan negara. Sementara sistem materialistis dan kapitalisme membebaskan kepemilikan tanpa batas, hingga lahir monopoli dan ketimpangan.
Islam mengambil posisi berbeda. Ia mengakui kepemilikan pribadi—tetapi membatasi ruangnya demi kepentingan publik. “Islam berada di tengah secara adil,” tulis Qardhawi. “Ia membolehkan kepemilikan tanah dan alat produksi, tetapi melarang kepemilikan atas sumber kehidupan yang dibutuhkan bersama.”
Tiga Hak Bersama: Air, Rumput, dan ApiDasar teologis dari prinsip itu bersumber dari sabda Rasulullah ﷺ: "Manusia memiliki bersama dalam tiga hal; air, rumput, dan api." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain, disebut tambahan: “yaitu garam.”
Hadis ini, kata Qardhawi, menggambarkan paradigma sosial Islam: setiap manusia memiliki hak yang sama atas sumber daya vital. Tidak boleh ada yang menimbun air, menutup akses pada padang gembalaan, atau menguasai api—simbol energi pada masa itu.
“Hadis tersebut tidak berhenti pada tiga unsur itu saja,” tulis Qardhawi, “tetapi bisa dianalogikan dengan kebutuhan zaman modern, seperti listrik, minyak, atau gas alam.”
Pandangan Mazhab dan Relevansi KontemporerPara ulama klasik mendukung gagasan ini dengan argumentasi hukum yang mendalam.
- Mazhab Malikiyah melarang individu memiliki tambang besar, bahkan jika ditemukan di tanah miliknya, karena dikhawatirkan menimbulkan ketergantungan sosial.
- Mazhab Syafi’iyah memperluas prinsip itu hingga mencakup minyak bumi, aspal, dan batu bara.
- Sementara Hanabilah menegaskan bahwa kepemilikan atas tambang yang mudah diakses oleh masyarakat adalah terlarang bagi pribadi atau penguasa.
Riwayatnya jelas: Nabi ﷺ pernah memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Jamal, namun menariknya kembali setelah mengetahui tambang itu bersifat publik. “Tambang itu seperti air,” sabda Nabi ﷺ, menegaskan bahwa sumber daya publik tidak boleh dimonopoli.
Ekonomi Islam: Jalan Tengah yang DitinggalkanDalam kacamata Qardhawi, konsep kepemilikan dalam Islam sejatinya adalah bentuk perlindungan sosial. Ia tidak menolak hak individu, tetapi menegaskan bahwa hak itu berakhir ketika menyentuh kepentingan masyarakat.
“Barang-barang yang dibutuhkan oleh publik harus tetap menjadi milik bersama,” tulis Qardhawi, “agar tidak membahayakan masyarakat dan menciptakan ketimpangan.”
Di Indonesia, prinsip serupa termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”*
Ironisnya, praktik ekonomi modern justru sering berlawanan dengan semangat itu. Privatisasi sumber daya, penguasaan tambang oleh korporasi, hingga komersialisasi air bersih menjadi fenomena yang mengulang kesalahan sistem materialistis yang dikritik Qardhawi.
Antara Spirit Ibadah dan Keadilan SosialIslam, dalam pandangan Yusuf Qardhawi, tidak memisahkan ekonomi dari moral. Kepemilikan adalah amanah, bukan kuasa absolut.
“Ketika seseorang menimbun barang yang dibutuhkan publik, ia bukan hanya melanggar keadilan sosial, tetapi juga mengkhianati prinsip ibadah,” tulis Qardhawi.
Dengan demikian, larangan Islam atas monopoli bukan sekadar hukum ekonomi, melainkan etika spiritual. Ia menuntun manusia agar tidak menjadikan harta sebagai alat kekuasaan, tetapi sarana berbagi keberkahan.
Lebih dari seperempat abad sejak buku Qardhawi diterbitkan, pesannya tetap relevan di tengah krisis energi dan pangan global hari ini.
Ketika air menjadi komoditas dan tambang menjadi rebutan, Islam menawarkan jalan tengah: hak milik yang berkeadilan, dan kepemilikan publik yang dijaga bersama.
Dalam satu kalimat, Yusuf Qardhawi menulis dengan nada moral yang kuat: “Tidak boleh seseorang menguasai apa yang menjadi hajat hidup orang banyak, karena itu berarti mempersempit kehidupan kaum Muslimin.”
(mif)