LANGIT7.ID-Dalam pandangan Islam, kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi. Ia adalah ekspresi iman dan akhlak. Karena itu, menurut ulama besar Syaikh Yusuf Qardhawi dalam
Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (1997), Islam bukan hanya memerintahkan umatnya untuk bekerja, tetapi juga menyucikan sumber pendapatannya. Sebab, sebagaimana ditegaskan Qardhawi, “Islam tidak menghargai bagusnya niat dan mulianya tujuan, apabila cara kerjanya diharamkan.”
Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad menegaskan hal itu dengan keras: “Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya.”
Bagi Qardhawi, ini bukan sekadar ancaman metafisis, tapi peringatan moral: bahwa ekonomi tanpa etika hanya melahirkan peradaban yang busuk dari dalam.
Istilah “kerja kotor” dalam literatur Islam mencakup segala aktivitas ekonomi yang mengandung kezaliman—dari penipuan, pencurian, pengurangan timbangan, hingga riba. Bahkan praktik yang tampak modern seperti
insider trading, gratifikasi, atau “hadiah jabatan”, dalam kacamata Islam tetap masuk kategori yang sama: harta yang diperoleh tanpa hak.
“Allah itu Thayyib (baik) dan tidak menerima kecuali yang baik,” sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Muslim.
Ayat Al-Baqarah 188 menguatkan prinsip tersebut: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dalam tafsirnya, Sayyid Quthb (Fi Zhilal al-Qur’an) menyebut ayat ini sebagai “fondasi etika publik” — larangan menyamarkan korupsi dengan legalitas hukum. Bahkan jika seorang hakim memutuskan sesuatu tampak sah, Islam tetap menuntut kejujuran nurani di atas formalitas hukum.
Dari Kantor Pajak hingga DiskotikQardhawi menulis, Islam melarang pekerjaan yang “mengandung unsur kezhaliman atau berurusan dengan sesuatu yang diharamkan.” Itu berarti, penghasilan dari menjual khamr, menjadi dukun, mengelola perjudian, atau bekerja di tempat maksiat masuk kategori pendapatan yang najis.
Namun kritiknya tidak berhenti di situ. Ia juga menyoroti bentuk “kerja kotor” yang lebih halus: suap, gratifikasi pejabat, atau penyalahgunaan jabatan publik. Qardhawi mengutip kisah Umar bin Abdul Aziz yang menolak hadiah dengan berkata: “Dahulu hadiah bagi Rasulullah adalah hadiah, tapi untuk kami sekarang itu adalah suap.”
Dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim, Rasulullah SAW bahkan menegur keras pegawainya, Ibnul Lutbiyah, yang membawa sebagian harta zakat dan berkata, “Ini untukmu, dan ini untukku.” Nabi menjawab: “Sebaiknya ia duduk di rumah ayah atau ibunya, lalu lihat apakah hadiah itu akan datang kepadanya atau tidak.”
Bagi Islam, hadiah yang datang karena jabatan bukanlah rezeki, melainkan riswah—suap terselubung.
“Dari Mana Kau Dapat Ini?"
Salah satu prinsip penting yang dirumuskan Qardhawi adalah konsep akuntabilitas individu: “Islamlah yang pertama kali menerapkan kepada para pejabat dan pemerintah undang-undang: Darimana kamu mendapatkan ini?”
Pertanyaan sederhana itu, tulis Qardhawi, adalah inti dari keadilan sosial Islam—mekanisme moral yang mencegah kesenjangan ekonomi akibat korupsi dan eksploitasi. Prinsip ini juga sejalan dengan hadis Rasulullah SAW: “Sesungguhnya yang kotor tidak dapat menghapus yang kotor.” (HR. Ahmad)
Artinya, harta yang haram tidak bisa menjadi sarana kebaikan, meskipun digunakan untuk membangun masjid atau madrasah.
Ekonomi Moral: Dari Umar ke Dunia ModernDalam konteks modern, gagasan Qardhawi sejalan dengan teori ekonomi etis kontemporer. Dalam jurnal Islamic Economic Studies (Vol. 4, 1997), ekonom M. Umer Chapra menulis bahwa “tujuan ekonomi Islam bukan akumulasi kekayaan, tetapi kesejahteraan moral.” Begitu pula Naqvi dalam Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (1981) menegaskan bahwa ekonomi tanpa etika adalah “jalan pintas menuju ketimpangan sosial dan kehancuran moral.”
Qardhawi melihat larangan terhadap pendapatan kotor bukan sebagai pembatasan kebebasan ekonomi, tetapi sebagai *saringan moral* yang menjaga agar hubungan antar-manusia tetap adil, beradab, dan saling menghormati.
Tiga Tujuan Sosial Ekonomi IslamQardhawi merumuskan setidaknya tiga alasan sosial mengapa Islam melarang pendapatan haram:
1. Menegakkan keadilan dan kehormatan manusia — agar hubungan sosial tidak dibangun di atas tipu daya dan perampasan hak.
2. Menekan kesenjangan sosial — karena harta kotor selalu memperlebar jurang kaya-miskin melalui keuntungan yang tak wajar.
3. Mendorong produktivitas sejati — sebab Islam melarang memperoleh harta tanpa kontribusi nyata seperti riba, judi, dan manipulasi pasar.
Dengan demikian, sistem ekonomi Islam menuntut keseimbangan antara usaha, risiko, dan hasil. Tidak ada tempat bagi keuntungan yang datang tanpa kerja atau keadilan.
Bagi Qardhawi, inti dari semua larangan ini terletak pada taqwa—kesadaran batin bahwa Allah menjadi saksi atas setiap transaksi. Seorang Muslim sejati tidak hanya patuh pada hukum formal, tetapi juga menjaga kebersihan hati dari niat menipu atau menindas.
“Jika secara lahiriah seorang qadhi telah memutuskan,” tulis Qardhawi, “maka sesungguhnya Allah selalu melihat hakikat dan rahasia.”
Pesan itu kini terdengar semakin relevan di tengah dunia yang memuja kemakmuran tanpa moral. Bahwa di balik setiap lembar uang, ada pertanyaan abadi yang diajukan nurani: dari mana engkau mendapatkannya?
(mif)