Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 30 Oktober 2025
home masjid detail berita

Mengakui Hak Pemilikan Pribadi dan Memeliharanya: Hak Milik, Fitrah, dan Kebebasan

miftah yusufpati Selasa, 28 Oktober 2025 - 04:15 WIB
Mengakui Hak Pemilikan Pribadi dan Memeliharanya: Hak Milik, Fitrah, dan Kebebasan
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi. Foto/Ilustrasi: MEE
LANGIT7.ID-Dalam pandangan Syaikh Yusuf Qardhawi, kepemilikan pribadi bukan sekadar hak ekonomi—ia adalah bagian dari *fitrah* manusia. Dalam bukunya Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah (1997), Qardhawi menulis, “Islam adalah agama fitrah, tidak ada satu pun prinsipnya yang bertentangan dengan naluri dasar manusia.”

Naluri memiliki, katanya, adalah dorongan alamiah yang bahkan tampak sejak masa kanak-kanak. Anak kecil yang memeluk mainannya tanpa mau berbagi, sesungguhnya sedang mengekspresikan insting kepemilikan yang kelak menjadi dasar bagi peradaban manusia.

Kecintaan terhadap milik pribadi—dalam batas yang wajar—menjadi motor penggerak ekonomi. “Ketika seseorang tahu bahwa ada hasil dari kerja dan kesungguhannya, maka ia akan terdorong untuk berusaha,” tulis Qardhawi. Dari sinilah muncul produktivitas, pembangunan, dan kesejahteraan masyarakat.

Kepemilikan dan Kemanusiaan

Dalam sistem sosial Islam, hak milik pribadi bukanlah simbol keserakahan, melainkan tanda kemerdekaan. “Seorang hamba tidak memiliki apa-apa, hanya orang merdeka yang bisa memiliki,” kata Qardhawi.

Di sinilah Islam membedakan diri dari ideologi ekstrem: ia tidak menolak kepemilikan seperti sosialisme, tapi juga tidak membiarkan kapitalisme tanpa batas. Islam menempatkan kepemilikan sebagai *amanah*—bukan milik mutlak. Pemilik hanyalah khalifah di bumi, penjaga sementara atas karunia Allah.

Qardhawi menegaskan, Islam tidak mengenal konsep “pemerataan dengan memaksa” yang mematikan motivasi individu. Ia menolak “menahan upah orang rajin untuk diberikan kepada pemalas.” Sebaliknya, Islam mendorong keadilan berbasis usaha: “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula,” (QS. Ar-Rahman [55]:60).

Salah satu teladan yang dikutip Qardhawi adalah Abdur-Rahman bin Auf, sahabat Nabi yang dikenal dermawan sekaligus pengusaha tangguh.

Ketika hijrah ke Madinah tanpa membawa harta, Rasulullah SAW mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Rabi’, yang menawarkan separuh hartanya. Abdur-Rahman menolak halus, lalu hanya berkata, “Tunjukkan di mana pasar.”

Beberapa tahun kemudian, Abdur-Rahman menjadi saudagar besar. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam Thabaqat bahwa ketika wafat, salah satu istrinya memperoleh warisan sebesar 80.000 dinar—setara kekayaan luar biasa di masa itu. Namun kekayaan itu tak menjadikannya lalai. Ia pernah menjual tanah senilai 40.000 dinar dan membagikan seluruhnya untuk fakir miskin, keluarga Nabi, dan para veteran Perang Badar.

Suatu hari, karavan 700 unta miliknya datang dari Syam membawa barang dagangan. Ia menyedekahkan semuanya. “Inilah harta yang baik di tangan orang saleh,” kata Nabi SAW dalam hadis riwayat Ahmad.

Antara Kepemilikan dan Amanah

Qardhawi menegaskan, Islam tidak melarang seseorang menjadi kaya, selama harta itu diperoleh dengan cara halal dan digunakan untuk kebaikan. Namun kekayaan bukan milik mutlak; ia terikat oleh prinsip istikhlaf (pengamanan).

Hak milik pribadi diakui, tetapi tunduk pada dua syarat utama:

1. Diperoleh dengan cara yang benar.
Harta hasil riba, penipuan, atau korupsi tidak diakui Islam—meskipun telah lama dikuasai. Dalam hukum positif, kepemilikan bisa diakui lewat daluarsa (misalnya setelah 15 tahun), tapi Islam menolak logika itu. “Lamanya waktu tidak bisa menghalalkan yang haram,” tegas Qardhawi.

2. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Bila tanah atau aset pribadi menghambat kepentingan publik—seperti pembangunan masjid, sekolah, atau rumah sakit—negara boleh mengambilnya dengan kompensasi adil. Qardhawi mengutip kebijakan **Umar bin Khattab** ketika memperluas Masjidil Haram: sebagian rumah di sekitar Ka’bah diambil secara paksa demi jamaah yang kian banyak, dan nilainya disimpan di Ka’bah agar pemiliknya mengambil ganti rugi secara terhormat.

Dalam kerangka ini, Islam menolak ekstremitas sistem ekonomi. Kapitalisme mendorong pemusatan kekayaan tanpa batas; sosialisme mematikan motivasi dengan menyeragamkan kepemilikan. Islam mengambil jalan tengah: mengakui hak pribadi, namun tetap mengedepankan maslahah umum (kepentingan bersama).

Ekonom kontemporer seperti M. Umer Chapra dalam Islam and the Economic Challenge (1992) menegaskan pandangan serupa: “Motivasi individu adalah kunci produktivitas, tetapi harus disertai akuntabilitas moral.” Sementara Naqvi dalam Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (1981) menulis, “Dalam Islam, hak milik bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk kemaslahatan sosial.”

Qardhawi menilai, sistem kepemilikan Islami justru menciptakan checks and balances: individu terdorong untuk bekerja keras, sementara masyarakat terlindungi dari penindasan.

Kaya yang Bertanggung Jawab

Ketika kekuasaan dan kekayaan terakumulasi di tangan sedikit orang, sejarah menunjukkan keruntuhan moral dan sosial. Islam menempatkan harta sebagai ujian, bukan kebanggaan.

Dalam hadis riwayat Bukhari, Nabi SAW bersabda, “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sebelum ia ditanya tentang hartanya: dari mana diperoleh dan untuk apa dibelanjakan.”

Pertanyaan itu—“Dari mana?” dan “Untuk apa?”—menjadi inti dari etika kepemilikan dalam Islam.

Al-Qardhawi menulis dengan tegas: “Islam memperbolehkan tiap-tiap orang untuk memiliki, bahkan mengajak untuk memiliki dan melindungi pemiliknya.” Tetapi kebebasan itu datang bersama tanggung jawab sosial.

Hak milik bukan sekadar kebanggaan pribadi, melainkan sarana untuk mengabdi kepada masyarakat dan Tuhan. Maka, dalam sistem Islam, kaya dan saleh bukanlah dua kata yang saling meniadakan—selama kekayaan dijaga dengan amanah dan diinfakkan dengan ikhlas.

Seperti Abdur-Rahman bin Auf, yang membuktikan bahwa kemuliaan bukan pada banyaknya harta, melainkan pada tangan yang tidak pernah berhenti memberi.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 30 Oktober 2025
Imsak
03:59
Shubuh
04:09
Dhuhur
11:40
Ashar
14:54
Maghrib
17:49
Isya
19:00
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
سَبَّحَ لِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
QS. Al-Hadid:1 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan