LANGIT7.ID — Di tengah derasnya modernitas dan kecenderungan spiritualitas instan, doa sering kali berubah menjadi rutinitas verbal—diserukan tanpa ruh, dibaca tanpa rasa. Padahal, dalam khazanah Islam klasik, doa (
الدُّعَاء) bukan sekadar permohonan, melainkan pertemuan batin antara hamba dan Tuhannya.
Imam Ibnul Qayyim dalam
Al-Jawabul Kafi menulis, “Doa adalah senjata orang beriman.” Namun senjata itu tak akan tajam bila tidak ditempa dengan adab. Dalam pandangan para ulama, adab berdoa bukan hanya soal etika lahiriah, tetapi juga kesiapan batin yang menuntut keikhlasan, keyakinan, dan kesungguhan.
Tulisan ini merujuk pada pandangan ulama yang dikutip dalam
Ensiklopedi Islam yang menegaskan: “Barang siapa menggantungkan hajatnya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya ia tidak akan rugi selama-lamanya.”
Niat, Wudhu, dan Telapak Tangan yang MenengadahAdab pertama, kata para ulama, adalah menata niat. Doa sejati lahir dari kesadaran untuk beribadah, bukan sekadar meminta. Setelah itu, bersuci menjadi tanda penghormatan terhadap momen spiritual tersebut.
Rasulullah ﷺ memberi petunjuk sederhana:
إِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَلَا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا“Jika kalian meminta kepada Allah, mintalah dengan menengadahkan telapak tangan, dan jangan dengan punggungnya.” (HR. Abu Dawud)
Dalam tafsir para ahli hadis, gerak menengadahkan tangan bukan sekadar simbol pasrah, tapi pernyataan kebutuhan total. “Telapak tangan adalah tanda ketundukan,” tulis Al-Nawawi dalam *Syarh Muslim*.
Puji, Shalawat, dan KesungguhanRasulullah ﷺ pernah menegur seorang sahabat yang terburu-buru dalam doa tanpa memuji Allah atau bershalawat terlebih dahulu. Beliau bersabda:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللَّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ثُمَّ لْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ لْيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ“Jika salah seorang dari kalian berdoa, hendaklah ia memulainya dengan memuji Allah, bershalawat atas Nabi, lalu memohon apa yang diinginkan.” (HR. Tirmidzi)
Catatan hadis ini menunjukkan keteraturan spiritual yang jarang disadari umat modern—sebuah tata cara berdoa yang mendidik disiplin batin. Doa bukan permintaan terburu-buru, melainkan dialog yang mendalam. Karena itu, Rasulullah ﷺ juga menegaskan:
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ“Berdoalah kepada Allah dengan keyakinan bahwa Dia akan mengabulkannya.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini mengandung pelajaran psikologis: keyakinan adalah bahan bakar spiritual doa. Tanpa yakin, doa hanyalah gema kosong yang tak sampai ke langit.
Ketika Doa Menjadi Cermin Kedalaman HatiDoa yang mustajab lahir dari hati yang hadir (
hudurul qalb). Karena itu, ulama klasik seperti Imam Al-Ghazali dalam
Ihya’ Ulumuddin mengingatkan: “Yang paling jauh dari Allah adalah doa yang keluar dari lidah, tapi tidak dari hati.”
Adab berikutnya adalah memilih kata-kata doa yang singkat, padat, dan ma’tsur — sebagaimana yang diajarkan Nabi ﷺ. Sebab doa ma’tsur telah mengandung nilai hikmah dan keberkahan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengajarkan bertawasul dengan nama-nama indah-Nya:
وَلِلّٰهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَاۖ“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.” (QS. Al-A’raf [7]: 180)
Dari Waktu Mustajab hingga Doa dalam KelapanganRasulullah ﷺ menandai waktu-waktu emas bagi doa: antara azan dan iqamah, saat sujud, di penghujung malam, menjelang berbuka, dan di hari Jumat. Dalam riwayat lain disebutkan, “Barangsiapa ingin doanya dikabulkan di waktu sempit, hendaklah ia banyak berdoa di waktu lapang.”
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيبَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكَرْبِ فَلْيُكْثِرِ الدُّعَاءَ فِي الرَّخَاءِ(HR. Tirmidzi)
Pesan ini bukan sekadar nasihat spiritual, tetapi juga pelajaran moral: kesetiaan seorang hamba diukur bukan hanya ketika ia susah, tapi ketika ia lapang.
Menutup dengan Nama AgungDalam riwayat lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلِظُّوا بِيَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ“Perbanyaklah mengucapkan ‘Yā Dzal Jalāli wal Ikrām.’” (HR. Tirmidzi)
Kalimat itu, menurut para mufasir, adalah bentuk pujian tertinggi kepada Allah — mengandung makna keagungan dan kemuliaan sekaligus kelembutan.
Doa sebagai Revolusi BatinDalam dunia yang serba cepat dan materialistis, doa sering dilihat sebagai bentuk kelemahan. Namun dalam tradisi Islam, doa justru adalah bentuk tertinggi dari kesadaran dan kekuatan jiwa. Ia adalah perlawanan terhadap keangkuhan diri dan pengakuan bahwa segala daya hanyalah milik Allah.
Sebagaimana dicatat dalam
Syarh Riyadhus Shalihin, “Doa adalah ibadah yang paling murni, sebab ia mengandung penyerahan total dan harapan tanpa batas.” Doa, dengan segala adabnya, adalah revolusi batin: saat manusia kembali menemukan dirinya sebagai hamba.
(mif)