LANGIT7.ID-Di antara hiruk-pikuk zaman yang serba instan, **doa** sering kali terpinggirkan—disamakan dengan mantra atau sekadar pelipur ketika semua ikhtiar gagal. Namun dalam pandangan Islam, doa justru adalah puncak ikhtiar, bukan pelengkapnya.
“Doa itu bukan sekadar meminta. Ia adalah bentuk pengakuan paling dalam bahwa kita ini lemah,” tulis
Syekh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam
Al-Jawabul Kafi. Ia menyebut doa sebagai “senjata mukmin” yang dapat menembus batas ruang dan waktu.
Dalam “
Meraih Do’a Mustajab”, artikel yang bersumber dari hadits-hadits sahih, doa digambarkan sebagai “bukti ketergantungan seorang hamba kepada Rabb-nya”. Rasulullah ﷺ bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ“Doa itu adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi)
Artinya, berdoa bukanlah tindakan pasif, melainkan bagian dari spiritualitas aktif—cara manusia bernegosiasi dengan takdir melalui penyerahan total kepada Sang Pencipta.
Namun sebagian orang merasa malu berdoa terlalu banyak. Mereka khawatir dianggap tidak qana’ah, tidak bersyukur. Sikap ini, menurut para ulama, adalah kesalahpahaman teologis. Rasulullah ﷺ menegaskan:
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ“Sesungguhnya barangsiapa tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi)
Dalam tafsir
Fath al-Bari, Imam Ibn Hajar menulis bahwa murka Allah terhadap orang yang enggan berdoa menunjukkan bahwa meninggalkan doa sama dengan menolak posisi Allah sebagai sumber segala nikmat.
Bagi para sufi, doa bukan sekadar permintaan rasional, melainkan jalan menuju kehadiran Ilahi. Imam Al-Ghazali dalam
Ihya’ Ulumuddin menyebut doa sebagai “cermin tauhid”—karena di dalamnya terkandung kesadaran bahwa tiada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah:
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ“Doa adalah bentuk kehambaan yang paling jujur,” tulis Al-Ghazali.
Rasulullah ﷺ juga menegaskan bahwa doa tidak pernah sia-sia. Bahkan ketika tidak dikabulkan, ia tetap bernilai.
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ مَا سَأَلَ، أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ، مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ“Tidak ada seseorang yang berdoa dengan suatu doa, kecuali Allah akan memberinya apa yang diminta, atau menahan keburukan darinya yang semisal dengan yang ia minta, selama tidak berdoa untuk dosa atau memutus silaturahim.” (HR. Ahmad)
Dalam logika spiritual Islam, doa selalu menghasilkan sesuatu—baik nyata maupun ghaib.
Dari perspektif psikologi modern, pandangan ini sejalan dengan teori
spiritual coping yang dikemukakan
Kenneth Pargament (1997). Doa, kata Pargament, memperkuat makna dan daya lenting seseorang dalam menghadapi tekanan hidup. Dengan berdoa, individu menegaskan kembali relasinya dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya.
Bagi seorang mukmin, doa bukanlah pengganti kerja keras, tetapi ruh yang menggerakkannya. Doa dan ikhtiar berjalan beriringan, seperti sayap burung yang tak bisa terbang hanya dengan satu sisi. “Doa tanpa usaha adalah angan-angan; usaha tanpa doa adalah kesombongan,” ujar Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam
Al-Ibadah fi al-Islam (1992).
Dalam sunyi malam, ketika dunia menutup jendela sibuknya, doa menjadi ruang paling pribadi antara manusia dan Pencipta. Di situlah setiap keluh menjadi kejujuran, setiap harap menjadi kekuatan. Doa bukan sekadar alat untuk mengubah keadaan, melainkan sarana untuk mengubah diri sendiri.
Dan mungkin, di situlah rahasia terbesar doa: bukan soal dikabulkan atau tidak, tetapi tentang bagaimana ia membuat seorang manusia kembali tahu arah pulang.
(mif)