LANGIT7.ID- Dalam masyarakat yang kian terpecah oleh tafsir dan simbol keagamaan, seruan untuk memperkuat ukhuwah Islamiyah—persaudaraan sesama Muslim—sering terdengar, tapi jarang dipahami dalam kedalaman maknanya. Ukhuwah, dalam pandangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab, bukan sekadar jargon harmoni atau semboyan ukhrawi. Ia adalah sistem nilai yang berpijak pada kesadaran epistemologis—bahwa perbedaan dalam memahami ajaran agama adalah keniscayaan yang dikehendaki Allah.
Dalam bukunya
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996), Quraish Shihab menawarkan tiga konsep kunci untuk memantapkan ukhuwah:
tanawwu‘ al-‘ibadah,
al-mukhti’u fi al-ijtihad lahu ajr, dan
la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid.
Ketiganya menjadi fondasi bagi sikap saling menghargai di tengah keragaman tafsir dan praktik keagamaan umat.
1. Tanawwu‘ al-‘Ibadah: Ketika Keragaman Ibadah Diakui NabiKonsep pertama, tanawwu‘ al-‘ibadah, mengajarkan bahwa perbedaan cara beribadah bukanlah penyimpangan, melainkan cermin dari keluasan sunnah Nabi ﷺ.
“Dalam konsep ini,” tulis Quraish Shihab, “agama tidak menanyakan ‘berapa hasil 5 + 5’, tetapi ‘berapa tambah berapa yang hasilnya sepuluh.’”
Metafora ini menggambarkan bahwa Islam membuka ruang untuk variasi ibadah—selama semuanya bersumber dari Rasulullah ﷺ.
Contoh klasiknya bisa ditemukan dalam praktik salat: Nabi ﷺ terkadang mengangkat tangan sebelum rukuk, kadang tidak. Kadang membaca doa qunut, kadang meninggalkannya. Semua sahih, semua benar—dan semua mencerminkan keluwesan Islam dalam bingkai ketulusan.
2. Al-Mukhti’u fi al-Ijtihad Lahu Ajr: Ganjaran bagi yang KeliruKonsep kedua menegaskan prinsip keadilan intelektual dalam Islam. “Yang salah dalam berijtihad pun mendapat ganjaran,” tulis Quraish Shihab, mengutip sabda Nabi ﷺ:
“Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala; apabila ia keliru, ia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam logika ukhuwah, prinsip ini membebaskan manusia dari klaim kebenaran tunggal. Tidak ada yang berdosa karena berbeda pendapat, selama dasar ijtihadnya adalah ilmu dan ketulusan.
Kebenaran, kata Quraish Shihab, “bukan wewenang makhluk, tetapi Allah SWT sendiri—yang baru akan diketahui pada hari kemudian.”
Namun, Quraish menegaskan syarat penting: ijtihad harus dilakukan oleh mereka yang berkompeten, yang memahami dalil-dalil syar‘i, bukan sekadar mengikuti selera atau sentimen pribadi. Di sinilah perbedaan antara *ijtihad ilmiah* dan *pendapat bebas* yang tanpa landasan.
3. La Hukma Lillah Qabla Ijtihad al-Mujtahid: Ketika Ijtihad Menjadi Cermin Kehendak IlahiKonsep ketiga menempatkan ijtihad bukan hanya sebagai upaya manusia, tetapi juga sebagai jalan untuk menemukan hukum Allah.
“Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid,” tulis Quraish Shihab.
Artinya, hasil ijtihad yang beragam justru merupakan bentuk keberlakuan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid. Ia mengibaratkannya seperti tuan rumah yang menyodorkan berbagai minuman kepada tamu. Setiap tamu bebas memilih minuman yang tersedia—kopi, air jeruk, atau teh—dan semuanya benar, selama dipilih dari sumber yang halal dan sah. “Jangan mempersalahkan orang yang memilih kopi,” tulisnya, “dan Anda pun tak layak disalahkan jika memilih air jeruk.”
Analogi sederhana, tapi sarat makna: perbedaan bukan alasan untuk saling menegasikan, melainkan ruang untuk saling memahami.
Ukhuwah dalam Praksis: Dari Ayat ke AksiQuraish Shihab tidak berhenti pada teori. Ia mengaitkan konsep-konsep itu dengan praktik nyata ukhuwah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu.” (QS. Al-Hujurat [49]: 10)
Kata ishlah (perdamaian), menurutnya, bukan sekadar sikap hati, tapi tindakan konkret memperbaiki hubungan sosial. Dalam bahasa Al-Qur’an, ishlah adalah antonim dari fasad—kerusakan. Ia berarti menghadirkan nilai-nilai kebaikan agar sesuatu kembali berfungsi sesuai tujuannya.
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Ia tidak menganiaya, tidak menyerahkannya kepada musuh. Barangsiapa memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya...”
Hadis lain dari At-Tirmidzi menambahkan larangan keras: “Ia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak meninggalkannya tanpa pertolongan.”
Bagi Quraish Shihab, ukhuwah sejati bukanlah wacana ukhrawi yang berhenti di mimbar. Ia adalah aksi sosial—membantu, menutup aib, memenuhi kebutuhan, dan melapangkan kesulitan sesama.
Jalan Tengah di Tengah PerbedaanQuraish Shihab menulis dengan nada reflektif: “Para ulama dahulu selalu berkata: pendapat kami benar, tapi mungkin keliru; pendapat Anda keliru, tapi mungkin benar.”
Pernyataan itu mencerminkan kerendahan hati epistemik—suatu kesadaran bahwa tafsir manusia atas wahyu selalu terbatas. Tidak ada monopoli kebenaran, bahkan dalam hal yang dianggap paling suci.
Di tengah menguatnya polarisasi keagamaan, pesan ini terasa makin relevan. Ukhuwah, dalam arti paling hakiki, bukan tentang menyeragamkan tafsir, melainkan merawat perbedaan dalam semangat kasih sayang dan keadilan.
Dari Ukhuwah ke Kemanfaatan“Yang dibutuhkan,” tulis Quraish Shihab menutup babnya, “bukan sekadar penjelasan tentang persamaan pandangan agama, tetapi langkah-langkah bersama yang dirasakan umat.”
Ukhuwah, bagi beliau, bukan ide abstrak, melainkan *energi sosial* untuk melahirkan manfaat konkret—shalah—bagi masyarakat.
Ketika perbedaan tafsir sering menjadi sumber perpecahan, tiga konsep dasar ukhuwah ini menjadi pengingat: Islam bukan tentang menang dalam debat, tapi tentang menang dalam kebajikan.
(mif)