LANGIT7.ID-Di tengah dunia yang kian gaduh—ketika kata “perjuangan” sering direduksi menjadi slogan politik dan perebutan kuasa—tafsir lama kembali bergetar dari lembar-lembar kitab. Dalam
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Penerbit Mizan), Prof. Dr. M. Quraish Shihab menulis tenang namun tegas: “
Allah mengilhami jiwa manusia dengan kedurhakaan dan ketakwaan.” (QS Asy-Syams [91]: 8)
Artinya, di dalam setiap manusia bersarang dua daya yang saling tarik-menarik: kebajikan dan keburukan. Begitu pula dengan masyarakat dan negara—dua ruang yang tak steril dari hasrat dan kebajikan yang bersilang.
Quraish menafsirkan ayat itu bukan sekadar teologis, melainkan sosiologis: manusia adalah arena pertarungan abadi antara nurani dan nafsu, dan negara hanyalah cermin dari jiwa kolektif itu.
Ketika kesewenang-wenangan berkuasa, kebajikan akan menjerit dan memanggil siapa pun yang masih memiliki telinga nurani.
“
Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya.” (QS Al-Anbiya’ [21]: 18)
Quraish menafsirkan ayat ini sebagai hukum sejarah yang pasti—bahwa kebatilan tidak akan abadi, karena fitrah manusia menolak hidup dalam kegelapan.
Namun, kemenangan kebenaran tak datang dengan sendirinya. “Ia mesti diperjuangkan,” tulis Quraish. Dari sinilah, istilah jihad memperoleh makna sejatinya.
Makna Jihad yang TerserakDalam kitabnya, Quraish mengurai kata jihad—yang muncul 41 kali dalam Al-Qur’an—sebagai perjuangan total manusia untuk menegakkan kebenaran, bukan sekadar peperangan bersenjata. Ia mengutip pandangan Ibnu Faris dalam
Mu‘jam al-Maqayis fi al-Lughah, bahwa akar kata j-h-d bermakna “kesulitan” dan “kemampuan.”
Jihad, karenanya, bukan aksi spontan, melainkan upaya sadar yang menuntut tenaga, waktu, harta, bahkan harga diri. “Apakah kamu mengira akan masuk surga padahal belum nyata bagi Allah siapa yang berjihad dan siapa yang sabar?”
(QS Ali Imran [3]: 142)
Quraish menulis, ayat ini menunjukkan jihad sebagai ujian psikologis dan moral, bukan sekadar perang fisik. “Setiap perjuangan yang menuntut kesabaran adalah jihad,” tulisnya.
Ia menyebut jihad sebagai “ujian bagi kualitas manusia”—bukan untuk menguji Tuhan, tetapi untuk menguji kedewasaan iman.
Mujahid Sejati: Memberi Sebelum MemintaDalam pandangan Quraish, mujahid sejati adalah mereka yang memberi tanpa menunggu imbalan, sebab jihad adalah amal yang berporos pada pengorbanan.
Ia menafsirkan ayat At-Taubah [9]: 79—tentang orang beriman yang bersedekah sesuai kemampuannya—sebagai sindiran bagi masyarakat yang gemar menghina kebaikan kecil. “Jihad adalah memberi, bukan menuntut,” tulisnya. “Karena jihad dilakukan demi Allah, bukan demi tanda jasa.”
Maka, jihad bukan sekadar aksi heroik di medan perang, melainkan juga kerja sunyi para guru, tenaga medis, petani, dan aktivis sosial yang menolak tunduk pada kezaliman sistemik.
Dalam bahasa Quraish, mujahid sejati tak menunggu izin, sebab “iman sejati tak menunda keberanian.”
Antara Nafsu dan Nurani: Jihad yang Tak Usai“
Barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya untuk dirinya sendiri.” (QS Al-Ankabut [29]: 6)
Ayat ini, bagi Quraish, adalah puncak refleksi jihad: bahwa setiap perjuangan sejati berawal dari diri. Jihad melawan kezaliman eksternal tak akan berarti jika hati sendiri belum tertundukkan dari keserakahan dan pamrih.
Quraish menulis lembut tapi tajam: “Jihad bukan sekadar menentang orang lain, tetapi menundukkan diri agar taat kepada nilai-nilai Ilahi.”
Itulah mengapa, dalam tafsirnya terhadap Luqman [31]:15, Quraish menegaskan: “Bila perjuangan diarahkan untuk kebatilan, ia bukan jihad, melainkan kezaliman, meski diperintahkan oleh orang tua sekalipun.”
(mif)