LANGIT7.ID –Tidak semua perkara boleh dimusyawarahkan. Begitu kesimpulan Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam karyanya
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1997). Dalam pandangan ulama ahli tafsir itu, musyawarah adalah perintah luhur, tapi juga memiliki batas tegas: urusan Tuhan tidak dapat diganggu oleh akal manusia.
“Apakah Al-Qur’an memberikan kebebasan bermusyawarah untuk segala persoalan? Jawabannya secara tegas: tidak,” tulis Quraish Shihab membuka tafsirnya atas konsep al-amr—kata kunci yang menjadi landasan musyawarah dalam Al-Qur’an.
Menurut Quraish, ayat Ali Imran [3]:159 memerintahkan Nabi Muhammad untuk “bermusyawarah dalam urusan (al-amr)”, sedangkan Asy-Syura [42]:38 menyebut “urusan mereka (amruhum)”. Nuansa linguistik itu, katanya, menunjukkan bahwa musyawarah tidak berlaku mutlak untuk semua hal, melainkan terbatas pada urusan-urusan manusia.
Dalam Al-Isra’ [17]:85, Allah menegaskan bahwa ruh adalah urusan Tuhan-Ku. Ini, kata Quraish, menandai wilayah yang tertutup bagi perdebatan manusia. Sebaliknya, Al-Kahfi [18]:16 menunjukkan bentuk amr yang menjadi wilayah manusia: “Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dalam urusanmu.”
Artinya, ada dua lapangan besar: urusan ilahi yang tak boleh dicampuri, dan urusan manusia yang memang menjadi ruang diskresi dan musyawarah.
Ketika Nabi Pun DitegurQuraish mengutip Ali Imran [3]:128, ayat yang menegur Nabi Muhammad saat perang Uhud: “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka (itu), apakah Allah memaafkan mereka atau menyiksa mereka...”
Ayat ini, menurutnya, menegaskan batas peran manusia—bahkan seorang Rasul sekalipun—dalam perkara yang sudah menjadi hak prerogatif Tuhan.
Batas itu pula yang menjadi fondasi bagi sistem syura (musyawarah) dalam Islam: bukan untuk menegosiasikan wahyu, tetapi untuk menata kehidupan yang tak diatur secara rinci oleh wahyu.
Contoh klasiknya, tulis Quraish, terjadi menjelang perang Badar. Ketika Nabi menentukan posisi pasukan, sahabat Al-Khubbab bin Al-Munzir bertanya: “Apakah ini tempat yang ditunjuk Allah, atau berdasarkan strategi perang?”
Setelah Nabi menjawab bahwa itu hasil ijtihad pribadi, barulah Al-Khubbab mengajukan saran taktis agar posisi pasukan dipindah lebih dekat ke sumber air. Nabi pun menerima usul itu.
“Peristiwa ini,” tulis Quraish, “menunjukkan bahwa musyawarah berlaku dalam hal-hal duniawi, selama tidak bertentangan dengan petunjuk wahyu.”
Ruang Duniawi, Bukan IbadahDalam tafsirnya, Quraish menolak pandangan yang membatasi musyawarah hanya pada urusan politik atau ekonomi. Menurutnya, Nabi pun bermusyawarah dalam perkara pribadi dan keluarga—termasuk saat menghadapi fitnah terhadap istrinya, Aisyah r.a.
Namun, ia menegaskan garis pemisah yang jelas: *persoalan-persoalan ibadah dan hukum-hukum yang sudah pasti dalam wahyu tidak dapat dimusyawarahkan. “Bagaimana dapat dimusyawarahkan,” tulisnya, “sedangkan nalar dan pengalaman manusia tidak dan belum sampai ke sana?”
Bagi Quraish, musyawarah bukan sekadar mekanisme politik, melainkan etika sosial yang mengajarkan kerendahan hati di hadapan kebenaran wahyu. Syura, kata dia, bukan berarti mengubah hukum Tuhan, tetapi mencari kebijaksanaan dalam hal-hal yang dibiarkan terbuka oleh Tuhan.
Dengan demikian, musyawarah dalam Islam berada di antara dua kutub ekstrem: antara teokrasi mutlak yang menafikan akal, dan demokrasi tanpa batas yang menafikan wahyu.
Dari Madinah ke IndonesiaDalam konteks modern, pemikiran Quraish Shihab terasa relevan bagi praktik demokrasi di negeri mayoritas Muslim seperti Indonesia. Musyawarah yang ia tafsirkan bukanlah kompromi terhadap nilai ilahi, melainkan cara manusia menjaga keseimbangan antara wahyu dan realitas sosial.
Dalam sistem kenegaraan, prinsip itu diterjemahkan dalam sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Musyawarah, dalam arti ini, bukan hanya mekanisme politik, tetapi juga cermin keislaman yang beradab—menempatkan wahyu sebagai kompas dan akal sebagai penuntun arah.
Pesan Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an terasa sederhana tapi mendalam: bermusyawarahlah dalam hal yang menjadi urusanmu, bukan urusan Tuhan.
Dalam zaman yang penuh tafsir dan perdebatan, batas itu menjadi penting diingat. Sebab, seperti ditegaskannya, musyawarah sejati bukanlah tentang siapa yang menang dalam perdebatan, tetapi bagaimana kebenaran ilahi tetap menjadi titik temu.
(mif)