LANGIT7.ID- Suasana pasca-Perang Uhud begitu muram. Tujuh puluh sahabat Nabi gugur, sebagian besar dari kalangan Anshar. Madinah diselimuti duka, dan di antara kesedihan itu muncul bisik-bisik penyesalan: “Andai saja keputusan musyawarah itu tak diikuti.”
Namun, justru di tengah luka itu, turunlah ayat yang mengabadikan perintah untuk terus bermusyawarah. “
Dan bermusyawarahlah engkau dengan mereka dalam urusan itu…” (QS Ali ‘Imran [3]: 159)
Dalam
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan), Prof. Dr. M. Quraish Shihab menulis: ayat itu bukan hanya teguran lembut bagi Nabi Muhammad Saw., tetapi pelajaran besar bagi seluruh umat manusia tentang pentingnya kebersamaan dalam mengambil keputusan.
Peristiwa Uhud menjadi konteks lahirnya perintah musyawarah. Nabi sebenarnya ingin bertahan di Madinah, tapi para sahabat muda mendesak keluar menghadapi pasukan Quraisy yang datang dari Makkah. Pendapat mayoritas itulah yang akhirnya disetujui.
Hasilnya: kekalahan.
Namun, menurut Quraish Shihab, Al-Qur’an tidak memerintahkan Nabi menyesali hasilnya. Sebaliknya, justru menegaskan agar tradisi musyawarah dipertahankan, bahkan setelah keputusan bersama terbukti keliru. “Kesalahan mayoritas lebih dapat ditoleransi,” tulis Quraish, “dibandingkan kesalahan seorang diri, sekalipun ia pemimpin yang tepat.”
Musyawarah, dalam pandangan Al-Qur’an, bukan jaminan hasil yang sempurna, tetapi sarana untuk membangun tanggung jawab bersama. Kekeliruan yang lahir dari kebersamaan lebih mudah diperbaiki daripada kebenaran yang lahir dari keangkuhan tunggal.
Secara gramatikal, ayat itu memang ditujukan langsung kepada Nabi Muhammad Saw.—redaksinya berbentuk tunggal. Tapi Quraish Shihab menegaskan, para pakar tafsir sepakat bahwa perintah itu berlaku bagi seluruh umat. “Bila Nabi yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan) saja diperintahkan untuk bermusyawarah,” tulisnya, “apalagi manusia selain beliau.”
Dengan kata lain, musyawarah bukan hak istimewa para pemimpin, melainkan kewajiban moral setiap manusia yang berurusan dengan orang lain.
Etika dan Spirit MusyawarahMusyawarah dalam Al-Qur’an, kata Quraish, bukan sekadar mekanisme demokratis, melainkan jalan menuju kematangan spiritual. Ia mensyaratkan tiga sikap yang lebih dulu harus hadir: lemah lembut, pemaaf, dan berjiwa bersih—tiga hal yang juga dijelaskan dalam tafsir Quraish atas ayat yang sama.
Tanpa kelembutan, diskusi berubah menjadi pertengkaran. Tanpa maaf, perbedaan menjadi dendam. Dan tanpa kejernihan hati, keputusan berubah menjadi sekadar kemenangan ego.
“Takkan kecewa orang yang memohon petunjuk,” tulis Quraish mengutip ungkapan klasik, “dan tidak juga akan menyesal orang yang melakukan musyawarah.”
Lebih dari 14 abad setelah ayat itu turun, semangatnya tetap segar. Dalam konteks sosial modern—dari ruang sidang politik hingga rapat keluarga—pesan ini masih berlaku: keputusan terbaik bukan milik satu kepala, melainkan hasil pertemuan banyak pikiran yang jernih.
Quraish Shihab menulisnya bukan sebagai sejarah, tapi sebagai cermin. Bahwa musyawarah bukan hanya alat mencari solusi, tetapi juga cermin kedewasaan kolektif.
Karena, kata Quraish, bahkan Nabi yang dijamin kebenarannya pun diperintah untuk bermusyawarah. Maka, siapa kita yang merasa tak perlu mendengar pendapat orang lain?
(mif)