Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Jum'at, 07 November 2025
home masjid detail berita

Tasyri yang Menyeluruh: Saat Hukum Islam Dianggap Sekadar Cambuk dan Hukuman

miftah yusufpati Rabu, 15 Oktober 2025 - 05:15 WIB
Tasyri yang Menyeluruh: Saat Hukum Islam Dianggap Sekadar Cambuk dan Hukuman
Hukum Islam bukan cambuk dan pedang, melainkan jalan hidup yang menuntun manusia menata diri, masyarakat, dan duniaagar keadilan berdiri, bukan sekadar hukuman dijatuhkan. Ilustrasi: Aljazeera
LANGIT7.ID-Di sebuah kamar sunyi di Kairo, Syaikh Yusuf al-Qaradawi menulis dengan mata yang menyala. “Tasyri’ Islam bukan hanya hudud,” tulisnya dalam Malaamihu al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nasyuduh (Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah, 1997, Citra Islami Press). “Hukum Islam adalah panduan hidup yang menata seluruh hubungan manusia—dengan Tuhan, sesama, negara, dan alam semesta.”

Pernyataan itu menjadi bantahan halus terhadap cara pandang banyak orang terhadap hukum Islam. Di mata sebagian, syariat direduksi sebatas potongan tangan dan cambuk.

Padahal, kata Qaradawi, tasyri’ adalah “undang-undang kehidupan”—bukan sekadar daftar larangan dan sanksi. “Fiqih Islam meliputi ibadah dan muamalah, hukum nikah dan waris, peradilan dan dakwaan, jihad dan perjanjian, halal dan haram, sunnah dan adab,” tulisnya.

Salah satu kesalahpahaman terbesar masyarakat modern terhadap Islam adalah melihat syariat hanya dari aspek pidana. Padahal esensi hukum Islam adalah menegakkan keseimbangan sosial—antara individu dan masyarakat, antara hak dan tanggung jawab.

Hukum Islam, dalam pandangan klasik, selalu terikat pada dua poros: ‘ubudiyyah (penghambaan) dan ‘imarah (pembangunan). Ia bukan sekadar melarang, tapi membimbing.

“Hudud hanyalah ujung dari sebuah sistem moral yang panjang,” ujar Ahmad Satori Ismail, Guru Besar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. “Tujuan akhirnya bukan menghukum, tapi menegakkan nilai keadilan dan kemanusiaan.”

Cambuk yang Disalahpahami

Dalam bukunya, Qaradawi mengutip pemikiran Abul A’la al-Maududi dari Al-Hijab yang menyoroti bagaimana Barat memandang hukuman Islam secara keliru.

“Bagi orang Barat, seratus cambukan tampak seperti kekejaman,” tulis Maududi.

“Tetapi pandangan itu lahir dari kemerosotan moral: ketika zina tak lagi dianggap aib, maka hukuman atasnya terlihat kejam.”

Menurut Maududi, keberatan moral Barat bukan pada penderitaan fisik, melainkan karena mereka telah kehilangan rasa malu.
“Peradaban yang memuja individu di atas masyarakat akan menilai setiap sanksi sebagai pelanggaran hak pribadi,” tulisnya.
“Mereka tidak mampu melihat bahwa satu cambuk untuk satu orang bisa menyelamatkan berjuta jiwa dari kerusakan moral.”

Qaradawi lalu menambahkan konteksnya: di zaman Nabi Muhammad SAW, hudud tak dijatuhkan sembarangan. Ia ditegakkan hanya ketika pelaku mengakui perbuatannya secara sadar, dan selalu dibuka pintu taubat. “Bahkan bila taubatnya sungguh-sungguh,” tulisnya, “hukuman dapat digugurkan, karena keadilan Ilahi tidak semata-mata menghukum, melainkan memulihkan.”

Antara Taubat dan Ta’zir

Dalam fiqih klasik, hukum Islam mengenal tiga lapisan sanksi: hudud (hukuman tetap), qishash (balasan setimpal), dan ta’zir (hukuman mendidik). Ketiganya menunjukkan fleksibilitas syariat. Islam tidak kaku. Ia mengenal konteks sosial, niat, dan ruang taubat.”

Ia menambahkan, ta’zir memberi ruang kreativitas moral bagi penguasa dan hakim: “Ia bukan pembalasan, tapi pendidikan. Di sinilah tasyri’ menjadi instrumen perbaikan sosial, bukan alat kekuasaan.”

Qaradawi dalam karyanya menyebut, jika seorang pezina bertaubat tulus, maka hudud dapat gugur dan diganti ta’zir. “Gugurnya bukan karena hukum lemah,” tulisnya, “melainkan karena rahmat Allah lebih besar daripada murka-Nya.”

Pandangan Islam terhadap hukum berbeda dengan paradigma hukum modern Barat. Menurut Maududi, peradaban Barat menekankan hak individu di atas hak masyarakat. Setiap hukuman dianggap ancaman terhadap kebebasan pribadi. “Padahal,” tulisnya, “kezaliman individu terhadap masyarakat justru lebih dahsyat daripada hukuman terhadap individu.”

Qaradawi menganggap ini sebagai perbedaan mendasar: Islam memandang manusia sebagai bagian dari jaringan sosial, bukan atom yang berdiri sendiri.

Karena itu, hukum Islam selalu menimbang maslahat bersama. Menegakkan keadilan sosial kadang menuntut pengorbanan pribadi. Dan itu bukan kekerasan, melainkan kebijaksanaan.

Mengatur Dunia, Bukan Sekadar Mengadili

Bagi Qaradawi, tasyri’ bukan hanya sistem hukum pidana, tapi konstitusi kehidupan (dustur daulah). Ia mencakup etika pemerintahan, ekonomi, keluarga, perang, dan perdamaian. Ia menata hubungan antara pemilik modal dan pekerja, antara pemerintah dan rakyat, antara manusia dan Tuhan.

“Dengan kata lain,” tulisnya, “Islam mengatur mulai dari adab di kamar mandi hingga adab bernegara.” Pandangan ini menunjukkan luasnya cakupan hukum Islam yang bersumber dari wahyu.

Gagasan Qaradawi sebagai “konsep hukum yang integral”. Tasyri’ adalah sistem nilai. Ia tidak bisa dipisahkan dari moral, politik, dan ekonomi.
Sayangnya, di ruang publik kita, syariat sering dipersempit menjadi cambuk dan rajam, padahal substansinya adalah keadilan dan kesejahteraan.

Kini, di tengah masyarakat yang terpolarisasi antara kaum liberal dan kelompok tekstualis, pandangan Qaradawi terasa seperti jembatan.
Ia menolak reduksi syariat menjadi hukum pidana semata, tapi juga menolak sekularisasi yang memisahkan hukum dari nilai Ilahi.
“Islam tidak menolak kemodernan,” tulisnya, “tapi menolak kemodernan yang kehilangan Tuhan.”

Dalam dunia yang semakin menuhankan individu, tasyri’ mengingatkan manusia bahwa hukum sejati bukanlah tentang hukuman, melainkan tentang keseimbangan: antara hak dan tanggung jawab, kebebasan dan moralitas, dunia dan akhirat.

“Hudud hanyalah tanda bahwa masyarakat Islam menolak kejahatan,” tulis Qaradawi.

“Tetapi tasyri’ sejati adalah ketika manusia menegakkan keadilan bahkan tanpa harus dihukum.”

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Jum'at 07 November 2025
Imsak
03:57
Shubuh
04:07
Dhuhur
11:40
Ashar
14:58
Maghrib
17:50
Isya
19:02
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan