LANGIT7.ID-Prof. Dr. M. Quraish Shihab menulis bahwa musyawarah bukan sekadar mekanisme sosial, tapi cermin kedewasaan spiritual. Hal ini tercantum dalam bukunya bertajuk "Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat" (Mizan). “Seandainya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali ‘Imran [3]: 159)
Ayat itu, tulis Quraish, menjadi kunci bagi siapa pun yang ingin bermusyawarah. Sebelum bermusyawarah, seseorang harus menghiasi diri dengan tiga sikap: lemah lembut, pemaaf, dan berjiwa bersih. Setelah itu, baru datang satu tuntunan terakhir: kebulatan tekad.
Dalam tafsirnya, Quraish mengurai bahwa Al-Qur’an tidak hanya memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk bermusyawarah, tapi juga mengajarkan bagaimana caranya. Tiga sikap itu disebutkan secara berurutan—bukan kebetulan, tapi urutan moral yang harus dijalani.
Pertama, lemah lembut. Pemimpin yang keras kepala, tulisnya, akan kehilangan pengikut. Musyawarah menuntut keluasan hati dan kemampuan mendengar. “Jika engkau bersikap kasar,” tulis Quraish mengutip ayat, “mereka akan berpaling.”
Kedua, memaafkan. Maaf, kata Quraish, berarti menghapus. Ia bukan sekadar kata sopan, tapi proses membersihkan hati agar pikiran tetap jernih. “Tiada musyawarah tanpa pihak lain, dan tiada kejernihan pikiran tanpa kejernihan hati,” tulisnya.
Ketiga, memohon ampun. Musyawarah yang sejati, kata Quraish, tidak hanya dialog antar manusia, tetapi juga komunikasi dengan Tuhan. Karena keputusan terbaik sering lahir dari hati yang bersih dan hubungan yang harmonis dengan Yang Maha Suci.
Di Antara Akal dan HidayahQuraish kemudian menautkan tafsir Al-Qur’an dengan pandangan seorang filsuf Barat, William James. “Akal memang mengagumkan,” kutipnya dari James, “tetapi ia mampu membatalkan argumen dengan argumen lain.”
Menurut Quraish, akal memang penting, tetapi tak cukup. Dalam proses musyawarah, manusia membutuhkan sesuatu yang melampaui logika: ilham, hidayah, firasat—apa pun namanya. Itu sebabnya, katanya, “orang-orang yang jiwanya dihiasi kesucian lebih mudah menerima petunjuk Ilahi.”
Di sini terlihat corak tafsir khas Quraish Shihab: menggabungkan rasionalitas dengan spiritualitas, menautkan pemikiran modern dengan pesan wahyu. Bagi Quraish, musyawarah bukan hanya ruang untuk berpikir, tapi juga ruang untuk membersihkan diri.
Dari Ayat ke KehidupanMusyawarah, dalam pandangan Al-Qur’an, bukan sekadar forum formal atau lembaga demokratis. Ia adalah sikap hidup. Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad Saw. menjadikan musyawarah sebagai bagian tak terpisahkan dari kepemimpinan.
Dalam peperangan Uhud, misalnya, Nabi memilih mengikuti pendapat mayoritas meskipun berbeda dengan pandangan pribadinya. Keputusan itu menunjukkan penghormatan terhadap prinsip syura—musyawarah—sekaligus menegaskan bahwa kebenaran bukan monopoli satu orang, bahkan Rasul sekali pun.
Quraish menegaskan, semangat itu perlu dihidupkan kembali dalam kehidupan modern yang sering bising oleh ego dan kepentingan. “Musyawarah yang benar tidak bisa lahir dari hati yang keruh,” tulisnya. Maka, pemaafan dan kelembutan bukan hiasan moral, tapi syarat lahirnya kebijakan.
Musyawarah sebagai PeradabanDi tengah dunia yang semakin terpolarisasi, gagasan Quraish tentang musyawarah terasa seperti penawar. Ia tidak menempatkan musyawarah semata sebagai etika sosial, melainkan sebagai sistem peradaban.
Musyawarah, tulisnya, adalah cara Islam mengajarkan demokrasi tanpa kehilangan nilai spiritual. Ia menuntut akal yang sehat, hati yang jernih, dan keberanian moral untuk menerima perbedaan.
Di titik ini, pesan Al-Qur’an menemukan aktualitasnya: “
Apabila telah bulat tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (Ali ‘Imran [3]: 159)
Musyawarah bukan tentang siapa yang menang dalam perdebatan, melainkan siapa yang paling ikhlas dalam mencari kebenaran.
Dalam banyak kesempatan, Quraish Shihab sering mengingatkan: umat Islam sering berdebat atas nama kebenaran, tapi lupa meneladani cara Rasul dalam mencari kebenaran itu sendiri. Musyawarah, bagi Quraish, bukan forum untuk mempertahankan pendapat, melainkan ruang untuk membuka hati.
Dan mungkin di sanalah letak kemodernan tafsir Al-Qur’an—ketika nilai-nilainya tak hanya dibaca, tapi dihidupi.
(mif)