LANGIT7.ID-Di ruang politik modern Indonesia, kata musyawarah sering hadir di bibir pejabat, tetapi kadang jauh dari praktik. Padahal dalam khazanah Islam, syura—musyawarah—bukan sekadar prosedur demokratis, melainkan fondasi etik sekaligus spiritual. Ia diangkat langsung oleh Al-Qur’an sebagai salah satu ciri kaum beriman: mendirikan salat, berinfak, dan memutuskan urusan bersama dengan musyawarah (QS Asy-Syura: 36–38).
Ayat itu diturunkan di Mekkah, saat komunitas Muslim masih minoritas. Tapi sejak awal, syura digariskan sebagai prinsip hidup bersama. Bahkan di Madinah, ketika Nabi Muhammad sudah menjadi kepala negara, Allah menegaskan lagi: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS Ali Imran: 159).
Perintah itu turun setelah Perang Uhud. Kala itu, Rasul mengikuti pendapat mayoritas sahabat untuk keluar menghadapi Quraisy di medan terbuka. Hasilnya pahit: 70 sahabat gugur, termasuk Hamzah, paman Nabi. Tetapi pelajaran yang diwariskan justru berbeda: keputusan kolektif, betapapun getir akibatnya, tetap lebih mulia daripada otoritarianisme seorang pemimpin. Syura bukan jaminan kemenangan instan, tapi jalan panjang membangun kepercayaan.
Baca juga: Syura: Musyawarah sebagai Jalan Peradaban Nabi yang Gemar BermusyawarahSejarah mencatat, Rasulullah SAW tak pernah lelah bermusyawarah. Dalam Perang Badar, beliau mendengar masukan tentang strategi. Saat Khandaq, ketika ide menggali parit datang dari Salman al-Farisi, Nabi menerimanya. Bahkan di Perjanjian Hudaibiyah, Rasul mendengar saran Ummu Salamah: ketimbang memerintah dengan kata-kata, beliau memberi teladan diam-diam. Ketika Nabi mencukur rambutnya, para sahabat pun ikut tanpa debat.
Bagi Nabi, musyawarah bukan formalitas. Ia adalah cara mengakui martabat sahabat, sekaligus cara mengikat kepercayaan publik. Hadis sahih mencatat, agama adalah nasihat: untuk Allah, Rasul, kitab-Nya, para pemimpin, dan umat. Artinya, relasi pemimpin dan rakyat bukan hubungan satu arah, melainkan timbal-balik dalam koreksi dan pengawasan.
Setelah Nabi wafat, para khalifah pertama menjadikan syura sebagai kompas politik. Abu Bakar dalam pidato pelantikannya berkata: “Jika aku dalam kebenaran, bantulah aku. Jika aku salah, luruskan aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah. Jika aku durhaka, tidak ada lagi kewajiban taat kepadaku.”
Umar bin Khattab bahkan lebih keras: “Barangsiapa melihat aku salah, luruskan dengan pedangmu!” Seorang sahabat benar-benar menanggapi: “Jika engkau menyimpang, akan kuluruskan dengan pedangku.” Alih-alih marah, Umar bersyukur: rakyatnya masih berani menegur.
Di mata para sahabat, musyawarah dan koreksi bukan ancaman, melainkan syarat legitimasi. Kekuasaan tanpa syura hanyalah thaghut—istilah Al-Qur’an untuk tiran.
Baca juga: Politik dalam Cermin Al-Qur’an: Kuasa yang Dipercaya, Kuasa yang Dikhianati Syura vs Fir’aunismeAl-Qur’an menampilkan kontras tajam. Di satu sisi, ada Bilqis, ratu Saba, yang mengumpulkan para pembesar sebelum memutuskan sikap terhadap Nabi Sulaiman. Musyawarah membuatnya selamat dari perang sia-sia, bahkan membawanya kepada iman.
Di sisi lain, ada Fir’aun. Ia menolak syura, memutuskan sendiri, memaksa rakyat tunduk. Bahkan saat Musa menunjukkan mukjizat, Fir’aun berkata: “Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS Al-Qashash: 38). Inilah wajah diktator: menutup telinga, memonopoli kebenaran, dan menjadikan rakyat sekadar pengikut pasif.
Tak heran, Al-Qur’an mencela Fir’aun, Haman, dan Qarun—trio penguasa, politikus, dan kapitalis—sebagai contoh gelap koalisi kekuasaan yang menindas rakyat.
Musyawarah di Zaman KitaDi Indonesia, musyawarah sering dikaitkan dengan Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Dalam praktik, ia berubah jadi mekanisme politik: rapat, sidang, kompromi. Tetapi bila ditarik ke akar Islam, syura lebih dari sekadar forum: ia adalah jalan etika yang mengikat pemimpin dan rakyat dalam tanggung jawab bersama.
Syura menolak diktator, tapi juga menolak anarki. Ia memberi ruang berbeda pendapat, namun tetap menjaga persatuan. Di dalamnya, rakyat bukan sekadar angka, melainkan mitra aktif.
Baca juga: Politik Qur’ani: Dari Hikmah ke Kekuasaan Pertanyaannya, apakah prinsip ini masih relevan di abad ke-21? Sejarawan Islam, seperti Syaikh Yusuf Qardhawi, menegaskan: syura adalah alternatif Islami bagi demokrasi. Ia bukan imitasi Barat, melainkan praktik orisinal yang lahir dari Madinah. Bedanya, syura bukan hanya soal suara mayoritas, tapi juga soal moralitas, nasihat, dan amanah.
Namun sejarah juga mengingatkan: syura sering gagal ketika disulap jadi stempel. Fir’aun pun pura-pura bermusyawarah dengan para pembesar, padahal sudah memutuskan sebelumnya. Di negeri kita, musyawarah bisa terjebak dalam transaksi elitis, jauh dari aspirasi rakyat.
Di titik inilah, pesan Al-Qur’an kembali relevan: musyawarah bukan sekadar prosedur, tapi juga keberanian menerima kritik, bahkan pedang rakyat, sebagaimana Umar.
Syura, pada akhirnya, bukan sekadar sistem politik. Ia adalah spiritualitas kolektif: keberanian mendengar, kerendahan hati untuk berubah, dan kesetiaan pada kebenaran di atas ego.
Dalam riwayat, Nabi berkata: “Tiga orang yang shalatnya tidak diangkat: imam yang dibenci makmumnya, istri yang dimarahi suaminya, dan dua saudara yang bertengkar.” Artinya, legitimasi selalu lahir dari kerelaan yang dipimpin, bukan dari paksaan.
Musyawarah adalah jalan sunyi: sering lambat, kadang pahit, tidak selalu menang. Tetapi di situlah ia membedakan umat dari Fir’aun.
(mif)