LANGIT7.ID-Kata “politik” berawal dari polis—kota dalam bahasa Yunani kuno—yang kemudian melahirkan istilah
politicos, urusan warga. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai segala urusan pemerintahan dan kebijakan menghadapi masalah.
Dalam bahasa Arab modern, istilah yang dipakai adalah
siyasah, dari akar kata
sasa-yasusu: mengemudi, mengatur, mengendalikan. Menariknya, akar kata yang sama juga melahirkan kata sus—berarti kotor atau rusak—sebuah ironi yang terasa akrab di telinga publik ketika berbicara tentang politik hari ini.
Di ruang publik Indonesia, politik lebih sering hadir dalam bentuk pragmatis: perebutan kursi, manuver koalisi, hingga politik uang menjelang pemilu. Padahal, dalam tradisi intelektual Islam, politik memiliki muatan moral yang jauh lebih dalam.
Al-Qur’an memang tidak menyebut kata
siyasah, tetapi tidak berarti ia diam soal politik. Ulama klasik seperti Ibn Taimiyah bahkan menulis risalah khusus bertajuk
As-Siyasah Asy-Syar’iyah—politik yang dibimbing syariat.
Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an (Mizan, 1996) mencatat, istilah yang lebih sering muncul adalah hukm. Kata ini mulanya berarti “menghalangi demi perbaikan”, lalu meluas menjadi “putusan” dan “cara mengendalikan”. Dari akar yang sama lahir kata hikmah: kebijaksanaan.
Baca juga: Perempuan di Panggung Politik Islam: Dari Hijrah hingga Kritik Kekuasaan Al-Qur’an memuji hikmah hingga 20 kali, termasuk dalam QS. Al-Baqarah [2]:269: “Siapa yang dianugerahi hikmah, maka ia telah dianugerahi kebajikan yang banyak.” Dengan kata lain, politik dalam perspektif Qur’ani tidak sekadar siasat kekuasaan, tapi juga seni mengelola kebijaksanaan untuk menghadirkan manfaat. Politik bukanlah sekadar seni merebut kekuasaan, melainkan seni menghadirkan maslahat.
Hukum: Milik Allah, atau Wewenang Manusia?Di titik ini, perdebatan klasik muncul. Sejumlah ayat menegaskan: “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (QS. Al-An’am [6]:57). Kelompok Khawarij menjadikan ayat itu sebagai slogan politik untuk menentang Khalifah Ali bin Abi Thalib. Ali menanggapinya dingin: “Kalimat yang benar, tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”
Quraish Shihab menunjukkan, konteks ayat-ayat itu bukan soal politik praktis, melainkan ibadah, sanksi, dan takdir. Bahkan, di banyak ayat lain, Allah memberi mandat kepada manusia untuk memutuskan perkara. QS. Al-Baqarah [2]:213 menyebut para nabi diutus “agar mereka memberi putusan tentang perselisihan antar manusia”. Sementara QS. Al-Nisa’ [4]:58 menegaskan: “Apabila kamu berhukum di antara manusia, maka hendaklah kamu memutuskan dengan adil.”
Dengan demikian, politik bukan monopoli Tuhan semata, melainkan amanah yang didelegasikan kepada manusia. Allah adalah sumber hukum, tetapi manusia diberi mandat untuk menafsirkan dan menerapkannya dalam kehidupan sosial.
Jika hikmah adalah kemampuan memilih yang terbaik, maka siyasah adalah praktiknya dalam ranah sosial dan kenegaraan. Dalam tradisi Islam, politik tidak dipandang kotor atau nista, melainkan bagian dari misi kekhalifahan manusia di bumi. “Politik,” tulis Quraish Shihab, “adalah bagian dari amanah kekhalifahan manusia.”
Baca juga: Dari Kairo ke Senayan: Nafas Panjang Ikhwanul Muslimin di Politik Indonesia Namun, sejarah mencatat, politik kerap melenceng dari nilai hikmah. Dari tragedi perang saudara di masa awal Islam hingga praktik otoritarianisme modern di dunia Muslim, politik sering kali berubah dari seni mengelola maslahat menjadi seni menguasai manusia.
Resonansi di Indonesia KontemporerDi Indonesia, politik masih jauh dari cita-cita hikmah. Pemilu yang mestinya menjadi pesta demokrasi, kerap dibayangi politik uang, mahar partai, dan oligarki. Politik menjadi ajang transaksi, bukan arena merawat amanah rakyat. Ironi akar kata siyasah—yang melahirkan kata sus atau kotor—seakan menemukan pembenaran di tengah praktik politik nasional.
Meski begitu, tafsir Qur’ani tentang politik tetap memberi harapan. Ayat-ayat tentang hukm dan hikmah menekankan pentingnya keadilan, transparansi, dan tanggung jawab. Prinsip bahwa manusia adalah khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah [2]:30) mengingatkan bahwa politik sejatinya adalah amanah, bukan sekadar jabatan.
Relevansinya dengan praktik kekuasaan kini terasa mendesak. Ketika pejabat publik terseret korupsi, ketika kebijakan dibuat lebih untuk kepentingan elite ketimbang rakyat, tafsir Qur’ani menjadi cermin. Politik yang dipandu hikmah menuntut keberanian untuk adil, bahkan kepada lawan. Ia menolak manipulasi, diskriminasi, dan kezaliman yang masih marak.
Politik Qur’ani juga menolak fatalisme. Manusia diberi mandat untuk menetapkan kebijakan, bukan sekadar menunggu takdir. Karena itu, membiarkan politik terjerumus ke praktik transaksional berarti abai terhadap amanah Ilahi.
Baca juga: Demonstrasi Menurut Syariat Islam: Bid'ah Politik, antara Amar Ma’ruf dan Potensi Fitnah Dari polis Yunani hingga tafsir Al-Qur’an, politik selalu menyisakan dua wajah: idealisme dan realitas. Idealnya, politik adalah seni menghadirkan kebijaksanaan dan keadilan. Faktanya, politik sering berlumur intrik dan kepentingan. Tafsir Quraish Shihab menghadirkan jembatan antara keduanya: politik tetap manusiawi, tapi harus dituntun ilahi.
Kini, di tengah krisis kepercayaan publik terhadap politisi, pesan itu terasa aktual. Politik bukan sekadar strategi meraih kursi kekuasaan, melainkan ruang etika publik—arena menghadirkan maslahat, menghindarkan mudarat, dan menjaga amanah. Atau, dalam bahasa hikmah Al-Qur’an: kebijaksanaan adalah anugerah, dan politik adalah cara menjaganya.
(mif)