LANGIT7.ID-Di sebuah majelis, Umar ibn Khaththab pernah berkata: “Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal.” Kalimat pendek itu mencerminkan betapa hati-hati para sahabat Nabi terhadap praktik riba. Kekhawatiran itu wajar, sebab penjelasan detail soal riba tidak selalu mereka peroleh langsung dari Rasulullah.
Apa Itu Riba? Secara bahasa, riba berarti “kelebihan”. Definisi sederhana ini pernah dijadikan alasan pembenaran oleh kelompok penentang larangan riba pada masa Nabi. Mereka menyebut jual beli sama dengan riba. Al-Qur’an merespons dengan tegas: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah [2]: 275).
Larangan ini ditegakkan tanpa penjelasan sebab eksplisit. Namun, seperti dicatat Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an (Mizan, 1996), alasan moralnya jelas: riba identik dengan penindasan. “Ayat-ayat tentang riba bukan sekadar bicara tentang tambahan, tetapi tentang kelebihan yang menindas,” tulisnya.
Riba JahiliahPada masa pra-Islam, riba terjadi dalam bentuk pelipatgandaan hutang. Bila seorang debitur gagal membayar tepat waktu, ia meminta penangguhan dengan janji menambah jumlah pinjaman. Hal ini bisa berulang-ulang, hingga hutang membengkak berkali lipat.
Al-Qur’an mengecam praktik semacam itu. “Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan. Dan menyedekahkan sebagian piutang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]: 280).
Sayyid Rasyid Ridha, pembaharu Islam awal abad ke-20, pernah menafsirkan bahwa riba yang diharamkan hanya riba berlipat ganda. Tapi banyak ulama menolak tafsir sempit ini. Sebab, ayat-ayat terakhir yang turun justru menegaskan: “Tinggalkan sisa riba yang belum diambil” (QS. Al-Baqarah [2]: 279). Bahkan, ancamannya terang: “Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dengan Allah dan Rasul-Nya.”
Keadilan Sebagai IntiMeski demikian, Al-Qur’an juga memberikan nuansa. Nabi Muhammad Saw. pernah membayar utang dengan jumlah lebih banyak dari yang dipinjamkan. Hadis riwayat Muslim dari Abi Rafi’ menegaskan: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutang.” Tambahan dalam pelunasan itu dibolehkan, selama tidak dipersyaratkan sejak awal.
Quraish Shihab menyimpulkan, larangan riba harus dibaca dalam bingkai keadilan. Intinya bukan sekadar angka tambahan, tetapi larangan atas eksploitasi. Prinsip ekonomi Islam, katanya, adalah keseimbangan, kerja sama, dan keadilan—bukan pemerasan.
Pertanyaan yang masih menggantung hingga kini: bagaimana dengan praktik perbankan modern? Bunga bank, kartu kredit, hingga pinjaman online, kerap diperdebatkan dalam forum-forum fikih. Sebagian ulama menganggap bunga bank modern identik dengan riba jahiliah, sementara lainnya menilainya sebagai sistem muamalah baru yang berbeda konteks.
“Ulama sejak dahulu hingga kini belum, dan besar kemungkinan tidak akan sepakat,” tulis Quraish Shihab. Sebab, kehati-hatian memang menjadi sikap pokok orang-orang bertakwa.
Pelajaran Hari IniPerdebatan itu boleh jadi tak akan tuntas. Namun, pesan utama Al-Qur’an tetap jelas: jangan ada transaksi yang mengandung kebatilan, eksploitasi, atau penganiayaan. Larangan riba sejatinya bukan sekadar soal angka, melainkan soal moralitas—mencegah yang kuat menindas yang lemah.
Konteks itu terasa relevan di Indonesia sekarang, ketika jutaan orang terjerat pinjaman online ilegal. Bunga berbunga yang mencekik, disertai ancaman penagihan yang kasar, mengingatkan pada praktik riba jahiliah yang dikecam Al-Qur’an. Perdebatan fikih boleh berlanjut, tapi substansi larangan tetap sama: menutup ruang bagi sistem yang menindas mereka yang lemah. Kritik para ulama, dari masa Umar ibn Khaththab hingga Quraish Shihab, seakan menemukan gaungnya di tengah kisah-kisah getir korban pinjol hari ini.
(mif)