LANGIT7.ID-Kecaman Al-Qur’an terhadap Ahl al-Kitab—sebutan untuk Yahudi dan Nasrani—tidak muncul dalam ruang hampa. Sebagian besar kritik justru diarahkan kepada komunitas Yahudi, bukan Nasrani. Sebabnya bukan semata perbedaan keyakinan, melainkan sikap yang mereka tunjukkan kepada kaum Muslim pada masa awal Islam.
Sejak semula, kedua kelompok ini menempuh jalan yang berbeda. Al-Qur’an mencatat, ketika Romawi Kristen kalah dari Persia penyembah api pada tahun 614 M, kaum Muslim merasa sedih. Namun wahyu turun menghibur mereka, menyatakan bahwa Romawi akan kembali menang, dan ketika itu kaum Mukmin akan bergembira:
Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang) dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang (QS al-Rum [30]: 1-5).
Ayat ini menjadi bukti simpati kaum Muslim kepada kaum Nasrani pada awal Islam. Bahkan penguasa Ethiopia, seorang Nasrani, pernah melindungi kaum Muslim yang hijrah ke negerinya. Maka tidak heran Al-Qur’an menegaskan:
Sesungguhnya kamu pasti akan menemukan orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik, dan sesungguhnya pasti kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’ (QS al-Ma’idah [5]: 82).
Baca juga: Ketika Kitab Menjadi Batas: Menakar Kekufuran Ahli Kitab dalam Lensa Al-Qur’an Mengapa demikian? Menurut Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an, sebab pokoknya adalah kedengkian orang Yahudi terhadap kehadiran seorang Nabi yang tidak berasal dari golongan mereka (QS al-Baqarah [2]: 109). Kehadiran Nabi Muhammad membuat pengaruh politik dan ekonomi Yahudi di Madinah menyusut. Sebaliknya, kedekatan sebagian Nasrani dengan kaum Muslim lahir karena di antara mereka terdapat pendeta dan rahib yang zuhud serta tidak menyombongkan diri (QS al-Ma’idah [5]: 82). Mereka relatif berhasil menanamkan nilai moral, dan tidak memiliki kekuatan politik yang bisa menimbulkan benturan dengan umat Islam.
Berbeda dengan Yahudi, yang dalam catatan Al-Qur’an sebagian pemukanya menerima sogok, memakan riba, dan hidup materialistis. Dari sinilah benih konflik tumbuh: bukan karena ajaran agama, melainkan ambisi golongan, kepentingan ekonomi, dan perebutan pengaruh. “Kepentingan itu dapat saja dikemas dengan bungkus agama,” tulis Quraish Shihab.
Mengangkat Awliya’Bagaimana memahami ayat-ayat yang melarang kaum Muslim mengangkat awliya’ (pemimpin kepercayaan) dari golongan Ahl al-Kitab? Firman Allah dalam QS Ali Imran [3]: 118 memperingatkan agar kaum Muslim tidak menjadikan mereka teman kepercayaan karena sikap permusuhan yang nyata saat itu. Ibnu Jarir dalam tafsirnya menjelaskan, ayat ini turun terkait pengkhianatan Bani Quraizhah. Rasyid Ridha menegaskan, larangan ini bersifat kontekstual: berlaku ketika mereka memerangi atau bermaksud jahat terhadap kaum Muslim.
Baca juga: Ini Mengapa Islam Menghalalkan Daging Sembelihan Ahli Kitab Namun, sebagian mufasir klasik seperti Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari menafsirkan larangan itu secara mutlak. Mereka mengutip hadis Nabi yang berbunyi: (Kaum Muslim dan mereka) tidak saling melihat api keduanya, seolah mengharamkan kedekatan sosial. Padahal, menurut Ridha, hadis itu disampaikan Nabi dalam konteks kewajiban hijrah, bukan larangan umum. Bahkan hadis tersebut berstatus mursal, yang penggunaannya sebagai hujah diperselisihkan ulama.
“Banyak pengajar hanya merujuk kepada tafsir Al-Baidhawi dan Az-Zamakhsyari, sehingga pemahaman mereka menjadi dangkal,” tulis Rasyid Ridha, seraya menekankan pentingnya merujuk kepada pendapat salaf yang lebih luas.
Kesimpulannya, Al-Qur’an tidak menjadikan perbedaan agama sebagai penghalang hubungan baik. Bahkan, surat al-Mumtahanah [60]: 8 menegaskan, seorang Muslim boleh berbuat baik dan memberi bantuan kepada siapa pun selama mereka tidak memerangi kaum Muslim. Tafsir Ibn Arabi dan Al-Qurthubi menguatkan hal ini, bahkan mengutip teguran Al-Qur’an kepada Nabi dan sahabat yang enggan memberi sedekah kepada Ahl al-Kitab dengan alasan mereka tidak masuk Islam (QS al-Baqarah [2]: 272).
Lebih jauh, Al-Qur’an memerintahkan perlindungan rumah ibadah semua agama. Surat al-Hajj [22]: 40 menyatakan, sekiranya Allah tidak menolak sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu robohlah biara-biara, gereja, rumah ibadat Yahudi, dan masjid. Dari prinsip yang sama, kaum Muslim dibolehkan memakan sembelihan Ahl al-Kitab dan menikahi perempuan mereka yang menjaga kehormatan.
Baca juga: Benarkan Menjelang Kiamat Seluruh Ahli Kitab Beriman Kepada Nabi Isa? Dalam perspektif ini, kecaman Al-Qur’an kepada Ahl al-Kitab lebih merupakan kritik atas penyalahgunaan agama untuk ambisi duniawi, bukan larangan mutlak untuk bersahabat. Bahkan, Al-Qur’an menegaskan, hubungan baik tetap harus dijaga selama tidak ada permusuhan. Sebuah pesan yang melampaui zaman, menuntun relasi antariman ke arah saling menghormati.
(mif)