Langit7.id - Dakwah, Al-Quran, Berita Terkini dan Tafsir
Dapatkan Update berita LANGIT7.ID
melalui notifikasi browser Anda.
kalender Kamis, 25 September 2025
home masjid detail berita

Politik dalam Cermin Al-Quran: Kuasa yang Dipercaya, Kuasa yang Dikhianati

miftah yusufpati Selasa, 23 September 2025 - 05:45 WIB
Politik dalam Cermin Al-Quran: Kuasa yang Dipercaya, Kuasa yang Dikhianati
Allah menganugerahkan kekuasaan sebagai amanah. Tapi sejarah politik Indonesia menunjukkan: dari bansos hingga dinasti, mandat rakyat sering terkhianati. Ilustrasi: AI
LANGIT7.ID-Dalam politik, kata “kekuasaan” kerap terasa berat. Ia bisa memabukkan, bisa pula menjerumuskan. Namun dalam Al-Qur’an, kekuasaan bukan sekadar soal kursi dan tahta. Ia berawal dari Allah—pemilik mutlak langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya. QS. Al-Ma’idah [5]:18 menegaskan: “Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya.”

Ayat ini meneguhkan bahwa segala otoritas, dari alam raya hingga detail kehidupan, bersumber pada-Nya. Bahkan QS. Al-Fatihah [1]:4 menekankan bahwa Dia adalah “Pemilik hari kebangkitan”—hari di mana segala otoritas manusia runtuh, suara-suara merendah, dan tidak ada yang berbicara tanpa izin-Nya (QS. Thaha [20]:108; QS. Al-Naba’ [78]:38).

Meski begitu, kekuasaan Allah di dunia tidak hadir dengan cara meniadakan manusia. Sebagian otoritas itu justru didelegasikan. QS. Ali Imran [3]:26 mencatat doa yang populer hingga kini: “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau anugerahkan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki.”

Menurut Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Mizan, 1996), ayat ini menegaskan dua hal. Pertama, kekuasaan adalah amanah, bukan milik abadi seorang penguasa. Kedua, pelimpahan otoritas itu mengandung risiko: ada yang berhasil mengelolanya sesuai prinsip Ilahi, ada pula yang gagal karena terjebak nafsu.

Baca juga: Perempuan di Panggung Politik Islam: Dari Hijrah hingga Kritik Kekuasaan

Istikhlaf: Mandat Kekhalifahan

Di sinilah konsep istikhlaf bekerja. QS. Al-Baqarah [2]:30 merekam ucapan Allah: “Sesungguhnya Aku akan mengangkat di bumi khalifah.” Ayat ini menunjuk Adam sebagai manusia pertama, khalifah tunggal sebelum lahir masyarakat. Konsep itu menemukan bentuk sosialnya pada Nabi Daud. QS. Shad [38]:26 menegaskan: “Wahai Daud, Kami telah menjadikan engkau khalifah di bumi.”

Perbedaan redaksi menarik: untuk Adam digunakan bentuk tunggal—karena ketika itu belum ada komunitas. Sementara untuk Daud digunakan bentuk jamak “Kami telah” sekaligus berbentuk lampau. Quraish Shihab menafsirkan, pengangkatan khalifah dalam konteks sosial memerlukan restu masyarakat. Kekuasaan politik tidak cukup sah hanya dengan mandat Tuhan; ia juga butuh legitimasi sosial.

Unsur kekhalifahan setidaknya mencakup tiga hal: wilayah yang dikelola, sosok khalifah sebagai mandataris, serta hubungan antara penguasa dengan pemberi kekuasaan (Allah). Kekhalifahan yang abai pada salah satunya—misalnya melupakan hubungan dengan rakyat—berpotensi menjadi tirani.

Selain mandat kekhalifahan, ada pula konsep isti’mar. QS. Hud [11]:61 menyebut: “Dia yang menciptakan kamu dari bumi dan menugaskan kamu memakmurkannya.” Kata isti’mar berarti penugasan untuk mengelola, membangun, dan mengambil manfaat.

Quraish Shihab menjelaskan, ini bukan sekadar eksploitasi sumber daya, tapi amanah untuk menata bumi sesuai kehendak Allah. Dari sinilah lahir prinsip politik yang bertumpu pada keberlanjutan, kemakmuran bersama, dan etika ekologis. Kekuasaan politik sejati bukan hanya soal kursi, tetapi juga soal menjaga tanah, air, dan kehidupan yang dipercayakan.

Baca juga: Dari Kairo ke Senayan: Nafas Panjang Ikhwanul Muslimin di Politik Indonesia

Dalam tafsir Qur’ani, kekuasaan adalah delegasi, bukan dominasi. Adam dan Daud menjadi cermin: satu sebagai simbol mandat universal manusia, yang lain sebagai model kekuasaan politik konkret. Isti’mar melengkapi istikhlaf: politik tidak berhenti pada pengelolaan rakyat, tapi juga mencakup pemakmuran bumi.

Namun dalam praktiknya, tafsir ini sering kandas. Di Indonesia, kekuasaan lebih kerap hadir sebagai arena transaksi. Dari politik uang, dinasti politik, hingga korupsi anggaran, publik menyaksikan bagaimana mandat kekhalifahan bisa tergelincir menjadi ladang kepentingan. Tak jarang, rakyat yang mestinya dimakmurkan justru dikorbankan.

Cermin untuk Kekuasaan Kontemporer

Tak sedikit dari kasus mutakhir memperlihatkan bagaimana konsep istikhlaf dan isti’mar dipinggirkan. Kasus korupsi bansos 2020 misalnya, dengan kerugian negara ditaksir mencapai Rp200 miliar, melibatkan pejabat Kementerian Sosial yang justru menyalahgunakan mandat untuk menyalurkan bantuan bagi rakyat kecil. Alih-alih memakmurkan, kekuasaan itu merampas hak orang miskin.

Fenomena dinasti politik di Pilkada Serentak 2024 juga meneguhkan problem legitimasi. Data ICW menunjukkan, 155 dari 582 kandidat memiliki hubungan kekeluargaan dengan penguasa di daerahnya, tersebar di 33 dari 37 provinsi. Alih-alih amanah publik, kekuasaan diwariskan bak harta keluarga.

Baca juga: Demonstrasi Menurut Syariat Islam: Bid'ah Politik, antara Amar Ma’ruf dan Potensi Fitnah

Kasus pengadaan Chromebook Rp9,9 triliun di Kementerian Pendidikan pun jadi cermin lain. Proyek yang diklaim untuk digitalisasi pendidikan ini dipersoalkan dari sisi kebutuhan teknis dan transparansi. Kritik publik menilai pengadaan itu tak berpihak pada siswa miskin di daerah dengan infrastruktur minim. Kekuasaan administratif yang seharusnya memakmurkan rakyat malah berpotensi memboroskan anggaran.

Dari langit Al-Qur’an ke bumi Nusantara, tafsir tentang kekuasaan memberi kaca pembesar bagi praktik politik hari ini. Bahwa otoritas bukan milik mutlak manusia, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan—kepada rakyat sekaligus kepada Allah.

Di tengah kekecewaan publik pada elite yang terjerat korupsi dan oligarki, pesan itu layak diingat kembali. Kekuasaan sejati bukan sekadar soal siapa yang berkuasa, tapi bagaimana ia menggunakan kuasa: untuk memakmurkan bumi, menegakkan keadilan, dan menjaga amanah ilahi.

(mif)
  • Bagikan Artikel Ini :
TOPIK TERKAIT
BERITA TERKAIT
jadwal-sholat
Jadwal Sholat
JAKARTA, Kamis 25 September 2025
Imsak
04:16
Shubuh
04:26
Dhuhur
11:48
Ashar
14:56
Maghrib
17:51
Isya
19:00
Lihat Selengkapnya
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ࣖ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, ia pasti menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
QS. Al-Jumu'ah:8 Langit 7 Cahaya Menuju Kebaikan